Sunday, April 7, 2013

Eksistensialisme Jean-Paul Sartre

BAB 1
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Eksistensialisme berkembang pada abad XX di Prancis Jerman, bukan sebagai akibat langsung dari suatu keadaan atau sebab tertentu, tetapi sebagai sebuah respon yang dialami secara mendalam atas runtuhnya berbagai bangunan didunia barat yang sebalumnya dianggap stabil. Meletusnya perang dunia pertama pada akhirnya menghancurkan keyakinan akan berlanjutnya kemajuan beradaban menuju kebenaran dan kebebasan, kedamaian dan kesejahteraan yang dimunculkan pada Abad pencerahan dan bertahan sampai pecahnya perang ini. Dengan adanya PD1, runtuhlah keseimbangan kekuatan yang tampaknya stabil diantara bangsa-bangsa besar. Sebelum PD 1 berakhir, seluruh kekaisaran Rusia tercerai berai, dan segera diikuti perpecahan dan runtuhnya kekaisaran inggris, Prancis, Belgia, dan Belanda.
Revolusi Komunis 1917 di Rusia menjatuhkan semangat stabilitis politik, semangat bahwa era revolusioner telah berakhir. Struktur ekonomi juga dipandang jatuh karena Tekanan Besar pada 1920-an dan 1930-an yang muncul dari Eropa sampai Amerika Serikat, memunculkan keraguan mengenai bertahannya kebenaran ilmu politik klasik dan bertahannya kapitalisme. Ilmu pengetahuan itu sendiri mulai kehilangan kesan pastinya. Dan segala macam filsafal berguguran. Jalan menuju teritori filsafat diciptakan oleh kemajuan penelitian ilmiah. Ditambah lagi, filsafat mendapat serangan dari para penganut Empirisme dan dari memanasnya perkembangan ilmu pengetahuan Abad XX. Dan filsafat dianggap hanya sebagai relativitas sejarah, bahkan lebih buruk lagi dianggap berfungsi sebagai ideologi untuk kepentingan kelompok khusus.
Dengan melemahnya dan jatuhnya sedemikian banyak struktur eksternal kekuasaan – struktur ekonomi, politik, dan intelektual milik kekuasaan – seluruh struktur ini mulai kehilangan legitimasinya, dan kuasanya atas individu jadi terasa sudah tidak lagi bisa ditolerir. Karena ditentang dan dianggap sudah tak lagi memiliki legitimasi, kekuasaan eksternal pemerintahan, sistem ekonomi, dan dunia ilmu pengetahuan serta intelektualitas, dan manusia perorangan hanya bisa turun pada kekuasaan internal atas diri. Logikanya, para Eksistensialis kembali pada diri manusia sebagai pusat filsafat yang sejati dan sebagai satu-satunya kekuasaan yang legitimasinya kuat.
Dalam pertentangannya melawan struktur politik dan intelektual yang ada, eksistensialisme mengikuti jalan yang diambil Romantisme Jerman abad XIX dalam usahanya memusatkan filsafat pada jiwa manusia, subjek sadar, sebagai satu-satunya kekuasaan yang memiliki legitimasi, lebih dari ratusan tahun lalu. Romantisme, seperti yang kita lihat, digunakan era penganut Kant dalam filsafat untuk menddapatkan dalam diri desakan kekuasaan politik Jerman dan dari tekanan intelektual oleh Abad Pencerahan ilmu pengetahuan yang dibenci mereka.

B.   Rumusan Masalah

1.      Apakah eksistensi itu?
2.      Apakah eksistensialisme itu?
3.      Siapakah Jean Paul Sartre
4.      Bagaimana yang sebenarnya yang dimaksud Sartre mengenai Eksistensi Manusia Mendahului Esensinya?
5.      Apa kelemahan etika eksistensialisme?











BAB II
ACUAN TEORITIK
A.   Tokoh
“Aku membenci massa kanak-kanakku dan segala sesuatu yang tersisa darinya.”
– Jean- Paul Sartre
The Words (Les Mots), 1964
Inilah pernyataan pahit dari fisuf eksistensialisme Prancis Jean- Paul Sartre dalam autobiografinys, The Words, yang dia tulis ketika berusia lima puluhan dan buku ini menggambarkan kehidupannya sampai usia dua belas ditahun 1917. Autobiografi Sartre merupakan serangan keras yang ditujukan pada orangtuanya, kakek-neneknya, dan masyarakat borjuis dimana dia lahir. Sartre mengecam mereka semua dari sudut pandanganya sebagai seorang eksistensialis dan posisi Marxis waktu itu. Apakah ada intelektual atau seniman yang telah menulis begiti kasar mengenai gambaran masa kecilnya sendiri? Tampaknya kita cukup ragu.
Seperti apa masa kecil ini – masa kanak-kanak dari seorang pelopor filsafat eksistensialisme abad XX yang paling berpengaruh? Sartre lahir di Paris Prancis,  pada 21 Juni 1905 – 15 April 1980 M. Ia berasal dari keluarga cendikiawan. Ayahnya seorang perwira besar Angkatan Laut Prancis. Ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ketika masih kecil ayahnya meninggal sehingga ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan dirumah kakeknya. Dibawah pengaruh kakeknya, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan dan bakat-bakat Sartre dikembangkan secara maksimal.
Mesti Sartre dididik secara agamis oleh kakeknya dan bahkan dibaptis, dalam perkembangan usia dan pemikirannya, Ia justru tidak menganut agama apapun dan bahkan tidak percaya pada Tuhan. Ia hidup seranjang  dengan Simon de Beauvoir tanpa nikah. Baginya perikahan adalah suatu lembaga borjuis saja. Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris, dan ia bertemu dengan Husserl. Semenjak itu ia mendalami fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat eksistensialisme.
Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia justru tidak menganut agama apapun. Ia atheis. Ia memngaku sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang
Ia adalah filsuf sekaligus penngembang aliran eksistensialisme. Menurut Saertre, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L’existence precede l’essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya dimasa lalu. Karena itu, menurut Sartre, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L’homme est condamne a etre libre).
Pada tahun 1964 Ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 disebuah rumah sakit di Broussais, Paris. Upacara pemakanmannya dihadiri kurang lebih lima puluh ribu orang. Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama Simon de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingless atau Ada dan Ketiadaan.

B.   Konsep Dasar Aliran
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan pada eksistensi. Para pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan esensi dari segala yang ada. Karena memang sudah dan tidak ada persoalan. Kursi adalah kursi. Manusia adalah manusia. Namun, mereka mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada dan untuk apa berada. Oleh karena itu, mereka menyibukkan diri dengan memikirkan tentang eksistensia. Dengan mencarai cara berada dan eksis yang sesuai, esensiapun ikut terpengaruh.
Dengan pengolahan eksistensia secara tepat, segala yang ada bukan hanya berada, tetapi berada dalam keadaan optimal. Untuk manusia, ini berarti bahwa dia tidak sekadar berada dan eksis, tetapi berada dan eksis dalam kondisi ideal sesuai dengan kemungkinan yang dapat dicapai. Dalam kerangka pemikiran itu, menurut kaum eksistensialis, hidup ini terbuka. Nilai hidup yang paling tinggi adalah kemerdekaan. Dengan kemerdekaan itulah keterbukaan hidup dapat ditanggapi secara baik. Segala sesuatu yang menghambat, mengurangi atau meniadakan kemerdekaan harus dilawan. Tata tertib, peraturan, hukukm harus disesuaikan atau, bila perlu, dihapus dan ditiadakan. Karena adanya tata tertib, peraturan, hukum dengan sendirinya sudah tak sesuai dengan hidup yang terbuka dan hakikat kemerdekaan. Semua itu membuat orang terlalu melihat kebelakang dan mengaburkan masa depan, sekaligus membuat praktik kemerdekaan menjadi tidak leluasa lagi.
Dalam hal etika, karena hidup ini terbuka, kaum eksistensialis memegang kemerdekaan sebagai norman. Bagi mereka, manusia mampu menjadi seoptimal mungkin. Untuk menyelesaikan proyek hidup itu, kemerdekaan mutlak diperlukan. Berdasarkan dan atas norma kemerdekaan, mereka berbuat apa saja yang dianggap mendukung penyelesaian proyek hidup. Sementara itu, segala tata tertib, peraturan, hukum tidak menjadi bahan pertimbangan. Karena adanya saja sudah mengurangi kemerdekaan dan isisnya menghalangi pencapaian cita-cita proyek hidup. Sebagai ganti tata tertib, peraturan, dan hukum, mereka berpegang pada tanggung jawab pribadi. Mereka tak memedulikan segala peraturan dan hukum, dan tidak mengambil pusing akan sanksi-sanksinya. Yang mereka pegang adalah tanggung jawab pribada dan siap menanggung segala konsekuensi yang datang dari masyarakat, negara, atau lembaga agama. Satu-satunya hal yang diperhatikan adalah situasi.
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada watak manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada---seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.


















BAB III
PEMBAHASAN

Tema/ Isu Aliran Ini
Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist. Kata exist itu sendiri berasal dari bahasa ex keluar, dan sister berdiri. Jadi, eksistensi itu berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Filsafat eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Filsafat eksistensialisme lebih sulit ketimbang eksistensi.
Dalam filsafat dibedakan antara esensia dan eksistensia. Esensia membuat benda, tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala yang ada mendapatkan bentuknya. Oleh esensia, kursi menjadi kursi, manusia menjadi manusia. Namun, dengan esensia saja, segala yang ada belum tentu berada. Kita dapat membayangkan kursi dan manusia. Namun, belum pasti apakah semua itu sungguh ada, sungguh tampil, sungguh hadir. Disinilah peran eksistensia.
Eksistensia membuat yang ada bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis. Oleh eksistensia, kursi dapat berada ditempat, dan manusia dapat hidup, bekerja, berbakti dan dapat membentuk kelompok bersama manusia lain. Selama masih bereksistensia, segala yang ada dapat ada, hidup, tampil, hadir. Namun, ketika eksistensia meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak hadit. Kursi lenyap dan manusia mati. Demikianlah penting peranan eksistensia. Olehnya segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, dan berperan. Tanpanya, segala sesuati tidak nyata ada apalagi hidup dan berperan.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia. Filsafat eksistensialisme membicarakan cara berada manusia didunia. Dengan kata lain filsafat ini menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Cara itu hanya ada khusus pada manusia karena hanya manusialah yang bereksistensi, binatang, tumbuhan, bebatuan memang ada, tetapi mereka tidak dapat disebut bereksistensi karena mereka tidak mempunyai kesadaran tentang dirinya atau kesadaran sekelilingnya.
Eksistensi berarti keberadaan, akan tetapi didalam filsafat eksistensialisme istilah eksistensi memiliki arti tersendiri. Tampaknya di dalam filsafat eksistensialisme istilah eksistensi memiliki arti cara manusia berada di dalam dunia, dan hal ini berada dengan cara berada benda-benda, sebab benda-benda tidak sadar akan keberadaannya sebagai sesuatu yang memiliki hubungan dengan yang lain. Secara lengkap eksistensi memiliki hubungan dengan yang lain, dan berada disamping yang lain. Secara lengkap eksistensi memiliki makna bahwa manusia berdiri sebagai dirinya dengan keluar dari diri sendiri. Maksudnya ialah manusia sadar bahwa dirinya ada. Dalam pemikiran ini jelas bahwa manusia dapat memastikan diri bahwa dirinya ada.
Bagi Sartre, manusia atau keadaan kebebasan untuk membentuk dirinya dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti bahkan tidak masuk akal. Tetapi, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan, keluhuran budi dan keberanian dan dia dapat membentuk masyarakat. Karena memiliki ciri seperti ini, maka manusia dapat menangani masalahnya sendiri dan mengandalkan pilihan dan tindakannya supaya dapat hidup didunia.
Jean- Paul Sartre, filsuf sekaligus pengembang aliran eksistensialisme, mengatakan bahwa  eksistensi lebih dulu ada dibanding esensinya. Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya dimasa lalu. Pandangan ini sangat janggal sebab biasanya sesuatu harus ada esensinya lebih dulu sebelum keberadaannya. Dalam pernyataan ini, Sartre menempatkan eksistentia dan essentia menurut makna metafisikanya, di mana, dari zaman Plato dan seterusnya telah mengatakan bahwa essensia mendahului eksistensia. Sartre membalik pernyataan ini.
Oleh pandangan-pandangan Sartre yang terkandung didalam dirinya, ada beberapa kelemahan etika eksistensialis.
Ø  Etika eksistensialis terperosok kedalam pendirian yang individualistis. Dengan pendiriran itu, alih-alih melaksanakan proyek hidup, bisa-bisa para pengikut aliran eksistensialis hanya mencari dan mengejar kepentingan diri. Karena yang baik ditentukan sendiri bukan berdasarkan norma, maka yang dianggap baik bukanlah kebaikan sejati, melainkan baik menurut dan bagi diri mereka sendiri. Cara memandang kebaikan yang individualistis itu dapat merugikan sesama, masyarakat dan dunia.
Ø  Dengan mengabaikan tata tertib, peraturan, hukum, kaum eksistensialis menjadi manusia yang anti-sosial. Tidak dapat disangkal bahwa ada norma masyarakat yang sudah usang. Namun, menyatakan  segala norma tak berlaku sungguh melawan akal sehat. Sebab, norma  masyarakat merupalan hasil perjalanan pencarian yang tidak mudah untuk ditiadakan.
Ø  Dengan mengambil sikap bebas merdeka, kaum eksistensialis memandang kemerdekaan sebagai tidak terbatas. Padahal, dalam hidup ini tidak ada kemerdekaan yang tanpa batas. Seberapa “hebat”-nya manusia, tidak mungkinlah dia mampu mewujudkan kemerdekaannya secara penuh. Selama orang hidup dalam masyarakat, pelaksanaan kemerdekaan akan selalu dibatasi oleh pelaksanaan kebebasan orang lain.
Ø  Kaum eksistensialis amat memperhitungkan situasi. Namin, situasi itu mudah goyah. Kelemahan ini masih diperkuat oleh sikap individualistis yang dipegang kaum eksistensialis. Etika eksistensialis memiliki unsur-unsur kebaikan yang positif. Namun, bila tidak mengurangi dan melepaskan kelemahan-kelemahannya, maka eksistensialisme akan melemahkan arti dan sumbangan-sumbangannya yang sangat berharga tersebut.
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.


Kritik terhadap Sartre
Salah satu kritik yang ditujukan pada pandangan Sartre tentang kebebasan dilontarkan oleh Albert Camus, sastrawan Prancis yang juga pernah bersahabat dengan Sartre, serta sama-sama tergolong dalam aliran eksistensialisme.
Camus menyatakan, dengan mencanangkan bahwa manusia adalah kebebasan dan dengan menganggap kebebasan manusia itu absolut, maka terselubunglah kenyataan bahwa dalam banyak hal manusia sama sekali belum bebas. Jika ditekankan bahwa manusia adalah bebas seratus persen, maka orang tidak dikerahkan untuk mengusahakan pembebasan. Manusia yang dilukiskan oleh Sartre itu hidup dalam suatu surga firdaus, yang jauh berbeda dengan kenyataan konkret, di mana serring kali ia terbelenggu oleh berbagai macam ketidakbebasan.
Sedangkan dalam Letter on Humanism, Heidegger mengritik eksistensialisme Sartre. Heidegger menyatakan: “Eksistensialisme mengatakan, eksistensi mendahuluiesensi. Dalam pernyataan ini, dia (Sartre) menempatkan existentia dan essentia menurut makna metafisika mereka, di mana, dari zaman Plato dan seterusnya telah mengatakan bahwa essentia mendahului existentia. Sartre membalik pernyataan ini. Namun pembalikan dari sebuah pernyataan metafisika tetaplah sebuah pernyataan metafisika. Dengan ini, dia (Sartre) tetap dengan metafisika, dengan melupakan kebenaran dari Mengada (Being).”










BAB IV
KESIMPULAN

Filsafat eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang mengguncangkan dunia walaupun filsafat ini tidak luar biasa dan akar-akarnya ternyata tidak dapat bertahan dari berbagai kritik. Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain.
Eksistensialisme menjadikan para penganut aliran ini menjadi orang-orang yang individualistis dan anti social sebab mereka akan menhalalkan segala cara untuk mencapai keadaan yang paling optimal sebagai manusia maka segala peraturan, hukum dan ajaran agama akan menghalangi tujuan mereka mencapai tujuannya.





No comments: