Monday, January 21, 2013

Renaissance dan Reformasi Pemikiran Niccolo Machiavelli

elisabeth alfrida


Bab 1   Pendahuluan
1.1       latar Belakang Masalah
            Pada tahun 1000an telah terjadi suatu perang besar dan berkepanjangan yang terkenal dengan sebutan Perang Salib. Sebagai penyebabnya adalah karena “tanah suci” (Israel sekarang) secara silih berganti diduduki atau dikuasai oleh raja-raja Islam. Masyarakat Barat yang Kristen dan yang menganggap tanah suci itu sebagai milik mereka berusaha merebutnya dari para penguasa Islam. Dalam perang tersebut para prajurit Kristen  memang menggunakan tanda-tanda salib pada pakaian dan persenjataan mereka, disamping juga memang dipimpin oleh para raja Kristen.
            Perang salib tersebut berlangsung berkepanjangan, bahkan bangsa-bangsa Barat yang datang ke Indonesia pada akhir abad 16 masih diliputi oleh suasana perang tersebut. Sebagai akibatnya adalah terjadinya konflik-konflik dengan pedagang-pedagang Islam dari Timur Tengah yang telah terlebih dahulu datang ke Indonesia dan juga dengan para penguasa Islam setempat.  Namun demikian juga terdapat dampak positip dari perang tersebut, yaitu terjadinya kontak kebudayaan, dan lebih dari itu bangsa Eropa mulai terbuka dan mengakui ketinggian kebudayaan Timur Tengah dan Asia. Mereka menyaksikan kemewahan-kemewahan yang tidak dijumpai di Eropa, komoditi-komoditi baru seperti rempah-rempah, lada, cengkeh dan lain sebagainya. Mereka akhirnya juga mengakui bahwa dalam bidang kerajinan, kesenian, teknologi , bangsa Timur Tengah dan Asia ternyata tidak kalah maju dibandingkan dengan bangsa-bangsa Eropa. Perkembangan selanjutnya adalah terjadinya kontak perdagangan antara Barat dan Timur yang sangat menguntungkan bangsa-bangsa Barat.
            Muncullah kota-kota dagang di Eropa Barat seperti Venesia, Leevant, Bologna dan sebaginya. Kota-kota dagang tersebut terus berkembang dengan segala kekayaan dan kemewahannya, akan tetapi juga saling berdiri sendiri (otonom) seperti kota-kota di Yunani. Persaingan antar kotapun tak dapat dihindarkan, bahkan jika perlu dengan menggunakan kekuatan militer untuk merebut dan menguasai kota-kota di sekitarnya. Oleh karena itulah setiap kota berusaha untuk paling tidak mempertahankan diri dengan menggunakan tentara sewaan. Hal inilah yang akhirnya mendorong munculnya kesatuan-kesatuan militer komersial yang bisa disewa oleh siapapun yang mampu membayarnya, yang disebut dengan istilah mercenary (Condittier).  Sebagai akibat lebih lanjut meletuslah kekacauan-kekacauan (anarkhi) di kota-kota dagang yang kaya.
            Pada sisi lain masyarakat pada kota-kota yang kaya mulai meragukan atau paling tidak mempertanyakan kebudayaan mereka sendiri yang selama itu dianggap paling unggul (Kristen) di seluruh bumi dengan cara mempelajari koleksi perpustakaan-perpustakaan di biara-biara dan gereja-gereja.  Akhirnya mereka menemukan kembali karya-karya kebudayaan Yunani yang sangat mengagumkan, baik berupa karya sastra, filsafat, arsitektur, kisah-kisah kepahlawanan, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Mulai saat itulah bangsa Eropa Barat betul-betul kembali menengok ke belakang yaitu ke jaman Yunani dan Romawi, yang menandai perubahan yang dahsyat yang dijiwai oleh pandangan hidup atau kebudayaan Yunani, dan lazim disebut dengan istilah Renaissance.
            Pengertian yang paling umum dan sederhana dari renaissance adalah: penemuan kembali atau kelahiran kembali (‘renasci’ dari bahasa Latin yang berarti dilahirkan kembali) dari kebudayaan antik (Yunani kuno), termasuk di antaranya para sejarawannya. Dibandingkan dengan jaman Abad Tengah bisa dikatakan tidak terdapat studi yang sungguh-sungguh atas sejarah kuno, dan pengetahuan akan jaman kuno di Barat pada waktu itu sangat terbatas. Walaupun terdapat pengaruh penulisan sejarah Yunani terhadap sejarah Abad Tengah, akan tetapi pengaruh itu hanya terbatas pada beberapa penulis atau sejarawan saja. Pada jaman Renaissance paling tidak sebanyak ¾ karya sastra Latin ditemukan kembali. Artinya lebih dari cukup kesusasteraan dan historiografi Yunani dilahirkan kembali. Hal itu terutama juga sehubungan dengan masih adanya kontak-kontak dengan Kerajaan Yunani Bisantium.
1.2  Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan masyarakat pada saat itu tentang pemikiran Niccolo Machiavelli terhadap bukunya yang terkenal "The Prince"?



Bab 2 Acuan Teoretik
2.1 Tokoh Aliran Renaissance

Niccolo Machiavelli
            Machiavelli lahir tahun 1469 di Florence, Italia dan meninggal tahun 1527 pada umur 58 tahun. Ayahnya adalah seorang ahli hukum, tergolong anggota family terkemuka tetapi tidak begitu berada. Selama hidup Machiavelli, Italia terbagi dalam negara-negara kecil. Karena itu tidak mengherankan jika pada masa ini Italia lemah secara militer meskipun brilian di segi kultur.
Dikala Machiavelli muda, Florence diperintah oleh penguasa Medici yang masyhur, Lorenzo. Setelah Lorenzo meninggal dunia tahun 1429, beberapa tahun kemudian penguasa Medici diusir dari Florence. Florence menjadi Republik (Republik Florentine). Pada tahun 1498, Machiavelli yang berumur dua puluh sembilan tahun, memperoleh kekuasaan tinggi di pemerintahan sipil Florence. Selama empat belas tahun sesudah itu dalam berbagai misi diplomatik atas namanya, melakukan perjalanan ke Perancis, Jerman, dan di dalam negeri Italia.
Tahun 1512, Republik Florentine digulingkan dan penguasa Medici kembali memegang tampuk kekuasaan, Machiavelli dipecat dari posisinya, dan di tahun berikutnya ia ditahan atas tuduhan terlibat dalam komplotan melawan penguasa Medici. Meski disiksa ia tetap bertahan menyatakan tidak bersalah dan akhirnya dibebaskan pada tahun itu juga. Sesudah itu dia pensiun dan berdiam di sebuah rumah perkebunan kecil di San Casciano, tidak jauh dari Florence.
Semasa hidupnya, Machiavelli menulis beberapa buku, yaitu :
1.        The Prince (Sang Pangeran), karya paling monumental ditulis tahun 1513
2.        The Discourses upon the first Ten Books of Titus Livius ( Pembicaraan terhadap Sepuluh Buku Pertama Titus Livius), ditulis tahun 1932
3.        The Art of War ( Seni Berperang), ditulis 1520
4.        A History of Florence (Sejarah Florence)
5.        La Mandragola (suatu drama yang bagus, kadang-kadang masih dipertanggungjawabkan orang)

Asal mula konsep pemikiran Niccolo Machiavelli
Berdasarkan biografi Machiavelli, setelah keluar dari penjara karena disangka terlibat dalam komplotan yang menentang kekuasaan Medici, Machiavelli pindah ke sebuah rumah kecil di luar kota, disanalah dia menuangkan idenya dalam bentuk tulisan, salah satunya The Prince.
                        Kejadian-kejadian politik pada waktu itu meninggalkan kesan yang mendalam pada Machiavelli, ia menyaksikan runtuhnya kekuasaan keluarga Medici yang sudah memerintah Negara Florence selama beberapa generasi sekitar seratus tahun. Ia juga melihat runtuhnya suatu kekuasaan yang tidak mendapat dukungan dari rakyat biasa.
                        Sementara itu, Machiavelli melihat sendiri betapa tidak stabilnya kesadaran politik rakyat biasa, karena gampang diombang-ambingkan oleh permainan politik golongan aristokrat, dimana Savoranola juga menjadi anggotanya. Oleh karena itu, ia sadar betapa tidak stabil kekuasaan itu. Padahal stabilitas kekuasaan sangat menentukan pertumbuhan rasa aman dan kultur kerja di negara Florence seperti dialami ketika Lorenzo Agung memerintah (Machivelli, 1987: xxi).
                        Selama tinggal di pedesaan itulah muncul pertanyaan-pertanyaan di benak Machiavelli di antaranya, “mengapa kekuasaan mudah runtuh?”. “Bagaimana caranya agar kekuasaan tetap lestari?” saat itu ia sedang dipuncak kegundahannya. Hatinya pedih menyaksikan Italia yang luluh lantak oleh serbuan pasukan asing, dan Florence yang terus-menerus dilanda perebutan kekuasaan. Namun yang paling membekas di hati Machiavelli adalah kekuasaan Republik Firenze, bentuk negara yang diidam-idamkannya.
2.2       Konsep Dasar Reanissance
                        Zaman renaissance sering disebut sebagai sebagai zaman humanisme, sebab pada abad pertengahan manusia kurang dihargai sebagai manusia, kebenaran diukur berdasarkan kebenaran gereja,  bukan menurut yang dibuat oleh manusia. Humanisme menghendaki ukuran haruslah manusia, karena manusia mempunyai kemampuan berpikir, berkreasi, memilih dan menentukan, maka humanisme menganggap manusia mampu mengatur dirinya dan mengatur dunianya. Ciri utama renaissance dengan demikian adalah humanisme, individualisme, lepas dari agama. Manusia sudah mengandalkan akal (rasio) dan pengalaman (empiris) dalam merumuskan pengetahuan, meskipun harus diakui bahwa filsafat belum menemukan bentuk pada zaman renaissance, melainkan pada zaman sesudahnya, yang berkembang pada waktu itu sains, dan penemuan-penemuan dari hasil pengembangan sains yang kemudian berimplikasi pada semakin ditinggalkan agama kristen karena semangat humanisme. Fenomena tersebut cukup tampak pada abad modern. 
                        Zaman modern merupakan zaman tegaknya corak pemikiran filsafat yang berorientasi antroposentrisme, sebab manusia menjadi pusat perhatian. Pada masa Yunani dan abad pertengahan filsafat selalu mencari substansi prinsip induk seluruh kenyataan. Para filsuf Yunani menemukan unsur-unsur kosmologi sebagai prinsip induk segala sesuatu yang ada. Sementara para tokoh abad pertengahan, Tuhan menjadi prinsip bagi segala yang ada, namun pada zaman modern, peranan substansi diambil alih oleh manusia sebagai ‘subjek’ yang terletak di bawah seluruh kenyataan, dan memikul seluruh kenyataan yang melingkupinya. Oleh karena itu zaman modern sering disebut sebagai zaman pembentukan ‘subjektivitas’, karena seluruh sejarah filsafat zaman modern dapat dilihat sebagai satu mata rantai perkembangan pemikiran mengenai subjektivitas. Semua filsuf zaman modern menyelidiki segi-segi subjek manusiawi. Aku sebagai pusat pemikiran, pusat pengamatan, pusat kebebasan, pusat tindakan, pusat kehendak, dan pusat perasaan.

Bab 3   Pembahasan
3.1                   Isu Utama Pemikiran Niccolo Machiavelli
Dalam bukunya Sang Penguasa ini, Niccolo Machiavelli memberikan petunjuk bahwa untuk menjadi seorang penguasa boleh melakukan segala cara. Ia juga memberikan nasihat bagaimana menjadi seorang penguasa yang dapat mempertahankan kelanggengan kekuasaannya dengan mengabaikan penilaian moralitas dan agama. Machiavelli memisahkan antara kekuasaan negara dengan kehidupan beragama dan kepentingan moral. Ia hanya membahas bagaimana mencapai tujuan yaitu kekuasaan apapun caranya.
Tujuan dari semua usaha penguasa itu, adalah mempertahankan stabilitas suatu negara agar negara tetap aman dan apabila ada ancaman baik itu dari dalam maupun dari luar negeri maka diadakan tindakan penyelamatan. Tindakan yang diambil oleh penguasa tidak berdasarkan kepentingan rakyat. Akan tetapi, tergantung dari keadaan dan desakan situasi sosial tanpa mempedulikan apakah tindakan tersebut dinilai baik atau buruk oleh rakyat. Seorang penguasa tidak perlu takut akan kecaman yang timbul karena kekejamannya selama ia dapat mempersatukan dan menjadikan rakyat setia, dan demi keselamatan negara. Menurut Machiavelli seorang penguasa jauh lebih baik ditakuti oleh rakyatnya daripada dicintai.
Dalam usaha menegakkan kekuasaannya seorang penguasa dapat melakukan tindakan yang mengabaikan penilaian moral dari masyarakat, seperti misalnya keluarga dari penguasa sebelumnya harus dimusnahkan semua untuk mencegah terjadinya pemberontakan di kemudian hari. Hal itu harus dilakukan penguasa atas desakan dan tuntutan situasi dalam menguasai suatu wilayah baru agar ancaman terhadap kekuasaan wilayah tersebut lenyap, setelah itu baru menarik simpati rakyat agar mendapatkan dukungan. Cara lain untuk mengamanan kekuasaannya diwilayah baru adalah penguasa baru harus tinggal di wilayah tersebut, mendirikan koloni-koloni, dan menempatkan pasukan serta infanteri dalam jumlah yang besar. Wilayah baru dapat diperintah oleh penguasa penggantinya tanpa adanya pemberontakan walaupun penguasa baru tersebut telah meninggal bila diperintah dengan bersatu dan para bangsawan tetap diberi kekuasaan di wilayah mereka dimana mereka diakui dan dicintai. Jadi tugas penguasa adalah mengamankan kekuasaan yang ada ditangannya agar dapat bertahan dengan langgeng. Tujuan berpolitik adalah memperkuat dan memperluas kekuasaan. Untuk itu segala usaha yang dapat mensukseskan tujuan dapat dibenarkan. Legitimasi kekuasaan membenarkan segala teknik pemanipulasian supaya dukungan masyarakat terhadap kekuasaan tetap ada. Keagungan seorang penguasa tergantung pada keberhasilannya mengatasi kesulitan dan perlawanan.


3.2                   Dampak Pemikiran tokoh terhadap kehidupan
Pemikiran Niccolo Machiavelli melahirkan pro dan kontra pada masyarakat luas sehingga pemikiran beliau juga berdampak dalam kehidupan masyarakatnya. Dari pro dan kontra tersebut lahir pula dampak yang ditimbulkan, baik dampak negatif ataupun positif. Dampak negatifnya adalah bahwa pemikiran filsafat politik Machiavelli sering memberi imajinasi para pelaku manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ia menjadi sumber justifikasi teoretis bagi politik kekuasaan dan bagi aksi-aksi politik yang keji dan tidak bermoral. Banyak petualang revolusioner dan diktator mendapatkan formula kesadaran dari Machiavelli mengenai cara menyikapi apa yang mereka anggap sebagai insting. Dengan menceraikan etika dari politik, ia secara teoritis ikut melempangkan jalan bagi negara absolut dan totalitarian yang sama sekali mengabaikan hak asasi manusia.
Dampak positifnya adalah Niccolo mengajarkan seorang penguasa untuk menjaga dan membuat rakyat setia pada negaranya hanya saja memang cara beliau dalam menyampaikan pemikiran terlalu terbuka hingga terkesan terlalu berambisi menguasai negara dan mengabaikan rakyatnya. Sebenarnya tidak ada yang salah pada teori Niccolo (menurut ahli yang telah mempelajarinya), beliau hanya menjabarkan apa yang perlu dan apa adanya. Dan terkadang memang seseorang harus sesekali berbuat kejam untuk membuat orang yang diperintahnya segan dan patuh.
Bab 4   Kesimpulan
Pemikiran Machiavelli yang diutarakan dalam bukunya (The Prince) tersebut menimbulkan pro dan kontra dikalangan masarakat luas, terutama yang menyangkut hubungan antara kekuasaan dengan moral agama. Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa Machiavelli sebagai guru yang jahat (teacher of evil) yang telah keluar dari moral dan ajaran agama, sehingga tak heran jika ia disebut guru yang jahat. Akan tetapi sebagian lainya mengatakan bahwa ia tak sejahat itu. Beberapa bukti terhadap anggapan bahwa Machiavelli adalah orang yang kejam, sadis dan tidak bermoral : yang pertama Machiavelli berpendapat bahwa ada dua macam kerajaan, yaitu kerajaan warisan dan kerajaan baru. Akan tetapi di antara dua kerajaan tersebut kerajaan barulah sering menimbulkan masalah karena banyak menimbulkan kesan yang buruk seperti untuk menguasai daerah baru, keluarga raja yang dulu berkuasa harus ditumpas habis agar tidak menimbulkan pergolakan. Kedua perlu diadakan tindakan-tindakan yang keras pada rakyat sehingga menimbulkan penderitaan yang besar bagi rakyat itu. Dengan tujuan supaya rakyat tidak melawan kepada penguasa tersebut. Menurut Machiavelli penguasa baru itu haruslah membuat suatu penderitaan yang besar bagi sebagian rakyat. Ketiga apabila suatu negara yang baru saja direbut , dan rakyatnya sudah terbiasa hidup bebas dan mengikuti hukum, maka cara yang lebih baik untuk mempertahankan kekuasaan adalah menghancurkan kota itu, karena kalau tidak, maka sang penguasa akan mengalami kesulitan dan bukan tanpa disadari ia akan hancur sendiri. Keempat ada dua cara untuk menjadi penguasa di wilayah baru, yaitu melalui kemampuan sendiri dan karena faktor nasib mujur. Dalam usaha sendiri, langkah yang bisa ditempuh adalah menciptakan kerusuhan, membuat negara berontak sehingga ia memperoleh kekuasaan dengan aman dari sebagian negara yang sudah dikuasai penguasa lain. Seperti yang dilakukan Alexander VI terhadap Orisis dan Collona. Kelima, dalam hal persekutuan dengan penguasa lain terutama dalam rangka mencapai suatu tujuan, maka sah-sah saja menggunakan tipu muslihat. Tipu muslihat itu dapat dibenarkan untuk melanggengkan jalan menuju kekuasaan. Keenam, ketika penguasa menggunakan kekuatan perang asing atau bayaran, maka setelah perang usai maka seharusnya pasukan bayaran itu dibantai habis. Kejahatan itu diperlukan demi keselamatan negara, karena jika ia menampakkan kebaikan, justru akan membahayakan dan membawa kehancuran. Ketujuh, seorang raja tidak perlu bermurah hati untuk membuat dirinya tersohor, kecuali kalau ia mempertaruhkan dirinya, karena jika dilakukan menjadi rakus karena ingin menghindari diri dari kemiskinan, sehingga ia menjadi rakus dan dibenci rakyatnya.
Machiavelli selanjutnya menjelaskan, bahwa sikap kejam raja sangat diperlukan seperti yang dilakukan Cesare Borgia, karena dengan kekejamannya ia menjadikan kerajaan Romagia lebih baik. Dengan usaha memulihkan keamanan dan kekuatan rakyat.
            Jika diperhatikan justru ia memiliki sikap belas kasih dari pada orang Florence yang ingin tidak untuk disebutkan, tetapi membiarkan Viktoria dihancur leburkan. Oleh karena itu, raja tidak perlu khawatir terhadap kecaman yang ditimbulkan karena kekejamannya selama ia mempersatukan dan mewujudkan rakyat setia. Seorang raja yang memimpin pasukan tidak usah khawatir kalau disebut kejam, karena tanpa sebutan itu tidak akan pernah dapat mempersatukan dan mengatur pasukan selama itu, dengan cara tersebut justru ia semakin ditakuti dan dihormati pasukannya. Dengan demikian seorang raja harus mengandalkan apa yang ada padanya dan bukannya yang ada pada orang lain. Menurut Machiavelli, bahwa ada dua cara berjuang yaitu melalui hukum dan kekerasan cara pertama bagi manusia dan cara yang kedua adalah cara binatang. Oleh karenanya seorang raja harus bersikap kadang-kadang sebagai manusia dan kadang sebagai binatang, tak ubahnya seperti rubah dan singa. Dalam hal menepati janji, menurut Machiavelli manusia adalah mahluk yang jahanam yang tidak menepati janji, sehingga anda tidak perlu menepati janji pada manusia itu. Kemudian untuk pertahanan negara ia terpaksa bertindak berlawanan dengan kepercayaan orang, belas kasih, kebaikan, dan agama mengetahui bagaimana ia bertindak jahat jika diperlukan. Sementara itu cara untuk menghindari kebencian pada rakyat, maka seorang raja harus menunjuk orang lain untuk melaksanakan tindakan yang kurang menyenangkan rakyat, dan untuk melakukan sendiri pembagian penghargaan kepada rakyat. Sekali lagi penguasa harus tetap menghargai para bangsawan, tetapi tidak membuat dirinya dibenci rakyat.