Showing posts with label Eksistensialisme. Show all posts
Showing posts with label Eksistensialisme. Show all posts

Friday, April 19, 2013

Eksistensialisme dalam pandangan Martin Heidegger

elisabeth alfrida






BAB 1
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang Masalah

Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis.Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat.Pohon mangga dapat tertanam, tumbuh, berkembang.Harimau dapat hidup dan merajai hutan. Manusia dapat hidup, bekerja, berbakti, dan membentuk kelompok bersama manusia lain.
Selama masih bereksistensia, segala yang ada dapat ada, hidup, tampil, hadir.Namun, ketika eksistensia meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak hadir.Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi kayu mangga. Harimau menjadi bangkai. Manusia mati. Demikianlah penting peranan eksistensia. Olehnya, segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, dan berperan.

              Hal – hal yang layak dan patut untuk di eksiskan patut untuk ditampilkan agar semua orang tau keberadaan hal tersebut , eksistensialisme berperan penting untuk kehidupan kita agar kita manusia satu sama lain saling mengetahui , menghargai dan mengakui keberadaan manusia lain yang ada di sekitar kita .

Martin Hiedegger memulai karirnya sebagai orang kristen baru. Dia memperoleh dokter di “Freiburg im Breisgau”, dan lalu ia mengikuti jejak pemikiran Husserl. Ia menyusun skripsi tentang katogori dan signifikansi dari ajaran duns Scotus’s. Ia lalu menjadi koeditor di “Jahrbuch fur philosophie und phanomenologische forscbung”. Heidegger merupakan pemikir yang ekstrim, hanya beberapa filsuf saja yang mengerti pemikiran Heidegger. Pemikiran Heidegger selalu tersusun secara sistematis. Tujuan dari pemikiran Heidegger pada dasarnya berusaha untuk menjawab pengertian dari “being”. Di dalam realitas nyata being (sein) tidak sama sebagai “being” ada pada umumnya, sesuatu yang mempunyai ada dan di dalam ada, dan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ada sebagai pengada. Heidegger menyebut being sebagai eksistensi manusia, dan sejauh ini analisis tentang “being” biasa disebut sebagai eksistensi manusia (dasein).





Rumusan Masalah

1.      Bagaimanakah Eksistensialisme dalam kajian Filsafat ?
2.      Bagaimanakah Eksistensialisme dalam pandangan Martin Heidegger ?


BAB 2
ACUAN TEORITIK

2.1  Tokoh Aliran ( Martin Heidegger 1889 – 1976 )

             Martin Heidegger lahir di Baden , Jerman . Ayahnya bekerja sebagai Kosfer di Gereja ST.Martius . Ia belajar di Konstanz , kemudian ia masuk Universitas Freiburg, Jurusan Teologi. Namun, tidak lama kemudian ia beralih menekuni bidang filsafat . Faoucault meraih doktor filsafat lewat disertasinya , Die Lehre Vom Urteil Im psychologismus .
Pada tahun 1915, ia mulai mengajar di bangku kuliah ia sudah mendalami fenomenologinya Edmund Husserl. Ketika Husserl bekerja di Freiburg, kehadiran itu membawa pengaruh besar asistennya . Pada tahun 1923 ia diundang ke Universitas Marburg dan diangkat menjadi professor. Di sini ia bertemu dengan Rudolf Bultman, seorang teolog terkemuka Protestan. Pada tahun 1928 ia diangkat menjadi professor di Freiburg sebagai pengganti Husserl.
              Ketika Hitler berkuasa di Jerman, Heidegger di pilih menjabat sebagai rector karena keterlibatannya di partai Nazi. Tetapi, banyak orang menyayangkan keterlibatan Heidegger dalam membantu aktivitas Nazi tersebut. Namun demikian , Heidegger belakangan sangat menyesal dengan sikapnya itu dan ia mengundurkan diri dan menyepi di desa terpencil sampai akhir hayatnya.
              Heidegger adalah salah seorang murid Hegel. Berbeda dengan gurunya. Heidegger tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap metode filsafat atau penyelidikan Husserl mengenai matematika. Sebelum ia menjadi fenomenolog, ia dikenal sebagai mahasiswa teolog yang pandai yang acapkali melontarkan pertanyaan – pertanyaan kritis dan eksistensialis .
               Filsafat Heidegger dianggap sebagai prestasi monumental dan termasuk filsafat yang paling kuat dan berpengaruh hingga abad ini. Pemikiran filsafatnya terdiri atas dua bagian. Bagian pertama banyak dia curahkan dalam karyanya yang berjudul Being and Time, yang terbit pada tahun 1928. Pada karya awal tersebut ia lebih memisisikan diri sebagai fenomenolog. Tapi tak sedikit orang yang mengategorikannya selain sebagai fenomenolog juga sebagai seorang eksistensialis.
                 Seperti Kierkegard, Heidegger menyelediki arti eksistensi yang autentik, makna kekekalan kita, tempat kita di dunia dan di antara oang lain sebagai individu. Karya Heidegger kemudian membuat putaran yang berbeda. Selama ia berfilsafat, Heidegger menegaskan sebagaimana gurunya Husserl ia memulai dari presuposisi-presuposisi yang muaranya kea rah pemahaman filsafat yang holistic.
                   Karya awal Heidegger tersebut dipahami sebagian kalangan dalam dua aspek penting. Pertama, Heidegger memperlihatkan anti Cartesianisme yang mendalam , khususnya mengenai pikiran dan tubuh, pembedaan antara subjek dan objek, pemisahan linguistic atas kesadaran, pengalaman dan pikiran . Kedua, filsafat Heidegger sebagian besar adalah pencarian terhadap autentisitas yang dapat dipahami dengan penjelasan tertentu sebagai keutuhan .
                   Beberapa karya Heidegger antara lain ; Sein and Xeit ( ada dan waktu ) 1927 , Kunt und das problem der metaphysic ( apakah metafisika ? ) 1929, Holzawage ( jalan-jalan buntu ) 1957, Vortrage und Aufsatze 1957 , Identitat und differenz 1969 , Zur sache des dekes 1969, Ein uhrung in die metaphysic 1953, Was heist denken 1954, Nietzche 1961, Phenomenologie und Theologie.
                   Dalam buku Sein und Zeit Heidegger menguraikan tentang ada secara mendalam, tetapi sebelum sampai pada langkah ini , filsuf ini menajukan pertanyaan , siapakah yang mengajukan permasalahan tentang ada itu ? Makhluk tidak lain adalah Manusia. Tetapi, ia tidak menyebutkan manusia, tetapi “subjek, aku, pesona, kesadaran”. Sedangkan manusia dengan nama desain. Kata ini dari kata sein = ada, dan kata da = di situ. Manusia tidak ada , befitu saja tetapi secara erat bertautan dengan adanya sendiri.
                     Menurut Hidegger , manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal diluar dirinya karena memiliki kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman , perkataan , atau pembicaraan . Yang dimaksud dengan mengerti dan memahami ialah bahwa manusia dengan kesadarannya akan berdaya diantara benda-benda lainnya harus berbuat sesuatu untuk menggunakan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya dan memberi arti manfaat pada dunia dalam kemungkinan- kemungkinannya. Bagi Heidegger, untuk mencapai manusia yang utuh maka manusia itu harus merealisasikan segala potensinya – meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak mampu merealisasikan semua itu, ia tetap berusaha sekuat tenaga dan mempertanggungjawabkan atas potensi yang belum teraktualisasikan.
                    Sama halnya dengan konsep ada dan non-ada, konsep ada-dalam-dunia( Inggris: being-in-the-world, jerman: in-der-welt-sein, Prancis:I’etre-dans-lemonade) juga merupakan konsep yang fundamentasl bagi para eksistensialis alam rangka menerangkan gejala keberadaan manusia . Konsep ada-dalam-dunia yang diperkenalkanoleh Martin Heidegger ini mengandung implikasi bahwa manusia hidup atau mengungkapkan keberadaannya dengan meng-ada di dalam dunia.
                     Untuk menangkap pengertian yang jelas dan keluar dari istilah ada-dalam yang digunakan oleh Heidegger memiliki arti yang dinamis, yakni mengacu kepada hadirnya subjek yang selalu berproses. Demikian pula dunia yang dikemukakan Heidegger itu harus dimenferti sebagai hal yang dinamis, bisa hadir da menampakkan diri dan bukan dunia yang tertutup atau semata-mata suatu dunia fisik geografis yang terbatas dan membatasi manusia . Heidegger sendiri menekankan bahwa ada dalam dunia adalah seinkomen yang berarti manusia mampu berada .
                        Jadi, ada-dalam-dunia itu tidak menunjuk pada fakta beradabnya manusia di dalam dunia seperti berada dalam karung atau baju dalam lemari, melainkan mewujud pada realitas dasar bahwa manusia hidup atau mengungkapkan keberadaannya di dunia sambil merancang, mengolah atau membangun dunianya itu , Manusia dan dunia adalah suatu totalitas yang menjadi relasi dialogis ( penggunaan tanda lambing dalam istilah ada dalam dunia itu pun sudah mengisyaratkan pandangan total dan dialektif dari Heidegger mengenai manusia dunia ). Totalitas dan dialektika manusia dunia itu mengandung implikasi bahwa keberadaan manusia dan perkembangan dunia. Dalam kenyataan manusia akan berkembang jika dia mengembangkan dunianya .
Selain itu filsafat Heidegger yang paling fenomenal adalah berkaitan degang konsep suasana hati (mood). Di dalam suasana hatilah kita”diataur” oleh dunia kita, bukan dalam pendirian pengetahuan observasional yang berjarak. Suasana hati juga dijadikan sebagai titik tolak untuk memahami hakikat diri dan siapa kita. Barangkali inilah yang menguatkan pendapat banyak orang menilai Heidegger sebagai sosok yang mampu melihat noumena dan phenoumena.


















2.2  Konsep Dasar Aliran ( Eksistensialisme )

Eksistensialisme sering diartikan beragam, mulai dari paham yang dianut oleh para anggota kesenian avant garde di paris; aliran filsafat yang membahas penderitaan hidup dan mendukung tindakan bunuh diri; sistem pemikiran di Jerman yang bertendensi anti-rasional; sampai pada aliran seni (tokoh-tokohnya antara lain Van Gogh, Cezanne, dan Picasso) dan kesusastraan (tokoh-tokohnya misalnya Dostoeveski, Kaffka, Baudalaeir, dan Rilke).
Istilah eksistensi berasal dari kata Ex-Sitere, yang secara literal berarti begerak atau tumbuh keluar. Dengan istilah ini hendak dikatakan oleh para eksistensialis bahwa eksistensi manusia seharusnya dipahami bukan sebagai kumpulan substansi-substansi, mekanisme-mekanisme, atau pola-pola statis, melainkan sebagai “gerak” atau “menjadi”, sebagai suatu yang “mengada”. Dalam konteks ini, pertanyaan krusial bukanlah, misalnya saja, apakah betul bahwa saya terbuat dari bahan-bahan kimiawi tertentu, sehingga masalah yang saya hadapi adalah bagaimana saya sadar akan kenyataan itu dan apa yang akan saya lakukan kemudian.
Arti eksistensi akan kita pahami secara jelas lagi kalau kita maninjau kembali pembedaan tradisional antara istilah eksistensi dan esensi. Esensi menunjuk pada, katakanlah, kecoklatan dari kayu ini, kepadanya, dan karakter-karakter lain yang membuat tongkat itu menjadi berarti.
Eksistensialisme dalam memahami manusia mempunyai beberapa pendahulunya yang sangat terkenal dalam sejarah barat seperti Sokrates dalam dialog-dialognya, Agustinus dalam analisa psikologi-dalamnya, Pascal dalam perjuangannya untuk menemukan sebuah tempat bagi alasan-alasan hati yang tidak diketahui oleh rasio. Tetapi cara pemahaman Eksistensialisme yang lebih berpengaruh muncul secara khusus seratus tahun yang lalu dalam protes-protes keras Kierkegaard terhadap rasionalisme dan Idealisme Hegel yang sangat berpengaruh waktu itu.
Soren Kierkegaard menyatakan bahwa pengertian Hegel tentang kebenaran yang abstrak mengenai kenyataan merupakan suatu ilusi dan penuh tipu daya. Kebenaran itu ada, demikian tulis Kierkegaard, hanya setelah individu membuat kebenaran itu dalam tindakan. Para eksistensialis lainnya mengkritik para rasionalis dan idealis yang melihat manusia sebagai subjek, yakni memandang manusia hanya sebagai makhluk berpikir.
Ekisistensi dari hal-hal Individual, dengan demikian, diluar gambaran yang abstrak itu. Misalnya kita dapat menunjukan bahwa tiga apel ditambah tiga apel sama dengan enam. Tetapi ini akan sama halnya kalau apel diganti dengan jeruk, secara matematis tidak ada perbedaan mendasar apakah apel atau jeruk itu ada atau tidak ada.
Dengan demikian, bahwa sebuah proposisi dapat saja benar tanpa ada masalah apakah yang ditunjukkan itu nyata (real) atau tidak. Maka dari itu pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dalam Eksistensialisme adalah, apakah secara abstrak benar dan apa yang secara eksistensial nyata bagi pribadi-pribadi atau individu.
BAB 3

PEMBAHASAN


3.1 EKSISTENSIALISME SEBAGAI FILSAFAT

                 Dalam kajian filsafat, benturan antar aliran akan banyak ditemui, terutama setelah satu pandangan dengan pandangan lain bertemu pada satu tema besar yang menjadi inti dari masing-masing aliran itu. Dampaknya, untuk para pemula dalam bidang ini, akan mengalami berbagai macam kebingungan karena komplektisitas dan penuh dialektika didalamnya.
Husserl telah memberikan banyak rangsangan pada para filsuf eksistensialis seperti Heidegger, Sartre, dan Merleau-Ponty. Akan tetapi arus filsafat eksistensial bergerak kearah yang berbeda dengan yang dituju oleh Husserl. Jika filsafat Husserl berurusan dengan esensia berbagai hal, para eksistensialis bergumul dengan eksistensial. Bagi sejumlah eksistensialis kontomporer, fenomenologi adalah titik keberangkatan dan fase perama dari evolusi filsafat mereka. Beberapa eksistensialis itu, membentuk hubungan yang erat dengan fenomenologi dari pada para eksistensialis lainnya. Akan tetapi, bagaimanapun, segenap eksistensialis,menerima metode fenomenologis sebagai metode yang mendasar dan sah.karena itu, boleh dikatakan bahwa para eksistensialis dalah juga fenomenolog, tetapi tidak sebaliknya.
Meskipun eksistensialisme berhutang banyak pada fenomenologi, ilham-ilhamnya yang esensial berasal dari sumber-sumber yang lain, yakni pemikiran-pemikiran Kierkegaard dan friedrich Nietz (1844-1900), bahkan dari pada pemikir yang lebih awal. Gerakan baru ini timbul secara bersamaan dan mandiri dibeberapa negara serta menyebar dengan cepat. Persamaan iklim intelektual serta faktor-faktor dan kondisi-kondisi umum bisa menerangkan bagaimana eksistensialisme timbul dan memperoleh penerimaan dibanyak negara.

3.2 EKSISTENSIALISME DALAM DUNIA HEIDEGGER

                   Martin Heidegger sepintas mungkin dinilai matematis dan kaku dalam menenun eksistensialismenya. Namun, hal tersebut sesungguhnya tidak identik dengan Martin Heidegger. Ia memiliki bangunan filosofis yang permanen dengan keterbukaannya yang luar biasa untuk mengantar filsafat pada pencarian sesuatu yang terdalam pada hal-hal lain yang berada di sekelilingnya. Hal-hal yang mengitari proses identifikasi human. Dengan demikian filsafat Heidegger adalah rangkaian arus berpikir yang tidak hanya mengetengahkan makna dari penjumlahan dalam dan luar belaka, melainkan bagaimana manusia dalam proses menjadi dan mencari arti keberadaaannya mampu memasuki ranah makna hal-hal di luar dirinya sebagai dirinya. Ekternalisasi eksistensialisme Martin Heidegger merupakan salah satu bagian dari filosofi keberadaan yang memberi ruang bagi interaksi manusia dengan hal-hal sekitar. Kalau pada Sartre interaksi itu dipenuhi oleh gaya kebebasan, maka pada Heidegger interaksi itu ditentukan oleh pemberian makna. Apa yang dimaknai di luar diri kemudian menjadi salah satu bagian yang tidak bisa dilepaskan dari eksistensi manusia sendiri. Yang di luar manusia harus bisa dicari benang merahnya dengan manusia itu sendiri. Semua yang di luar baru bermakna apabila manusia mendekatinya. Manusia mampu menjadi yang lain dengan mengembangkan pemaknaannya serentak semua yang lain yang berada di luar manusia tersebut ditarik ke dalam ranah individu, karena semua yang lain itu adalah pemenuh arti manusia sendiri. Manusia menjadi penuh karena keterhubungan ini.
Karya filsuf asal Jerman yang santer disebut sebagai bapak fenomenologi yang mengantar aras pemikiran pada gerbang post-modernisme ini juga berhasil memberi apresiasi berbeda dari ciri filsafat klasik. Kalau pada metodologi klasik segala sesuatu didekati dengan berbagai cara dan proses untuk mengetahui makna terdalam, maka pada Martin Heidegger segala sesuatu diarahkan pada usaha memberi makna pada keberadaan. Segala sesuatu ditarik pada keterhubungannya yang apa adanya, tanpa memberi titik berat pada latar pengalaman dan kejadian-kejadian yang berhubungan. “Sesuatu” dinilai berdasarkan hubungan eksternalnya, hal-hal yang mengondisikan bagaimana sesuatu itu menjadi. Pada titik ini, individu bisa menjadi yang lain tetapi pemaknaan ini harus bergema pada identifikasi keberadaannya.
Yang ada di luar manusia akan berarti jika digunakan manusia. Di dalam dirinya, “hal-hal di luar” tidak memiliki makna. Mereka baru memiliki makna jika manusia merengkuhnya seturut tujuan dan alasan mengapa mereka digunakan. Pertanyaan tentang apa itu sesuatu tidaklah lebih penting ketimbang, bagaimana sesuatu itu bernilai dalam kontrol individu tertentu.
Pada akhirnya HEIDEGGER merasa mencapai metafisika yang lengkap dan sungguh-sungguh, jadi filsafat tentang ada yang sistematis. Hal ini menjauhkannya dari pendapat KIERKEGAARD. Begitu pula berlainan benar pendapatnya, karena dari eksistensi manusia tak dilihatnya jalan kepada Tuhan. Sehingga filsafatnya cenderung mengandung pemahaman ateisme.

PEMIKIRAN DAN METODE HEIDEGGER
1. Ditujukan pada pemecahan konkrit masalah "berada". Sebab selama ini pengertian kita tentang itu masih "samar".
2. "Berada" hanya dapat dijawab lewat "mitologi", artinya jika dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungannya dengan itu. Agar usaha itu berhasil mereka harus gunakan "fenomenologi" > sebagai metode.yang penting apa arti "berada".
3. Satu-satunya "berada" yang dengan sedirinya dapat dimengerti sebagai "berada" adalah beradanya manusia.
4. Harus dibedakan antara "sein" = barada/manusia dengan "seinde" = yang berada/benda. Benda-benda hanya "varhanden" = jika dipandang pada dirinya sendiri, hanya terletak begitu saja didepan orang tanpa adanya hubungan dengan orang itu.
5. Manusia > bberdiri sendiri tanpa mengambil tempat di tengah-tengah dunia sekitarnya. Dengan demikian berarti ia "berada" bukan "yang berada".
• Keberadaan manusia disebut "dasein" = berada di sana, di tempat. Untuk itu, manusia harus keluar dari dirinya sendiri dan berdiri di tengah-tengah segala yang berada.
• Dasein manusia disebut juga eksistensi = benda dalam dunia. Misal : kayu bakar dll.
• Secara fenomenologis : hubungan manusia dan dunianya bersifat praktis = ia sibuk dengan dunia/mengerjakan dunia (besargen=menyela-nyelakakan)
• Di dunia, manusia berbuat. Berbuat : Praktis & teoritis (manusia diam). Praktis : manusia bertemu benda-benda dan berbuat dengan benda-benda itu. contoh : kayu jadi kursi, dll.
• Dalam hidupnya dengan alam sekitar, manusia bersikap praktis. Dengan demikian, manusia sebenarnya terbuka dengan dunianya.

Keterbukaan manusia bersumber pada 3 hal :
1. Befindlicheit : kepekaan, diungkap dalam bentuk perasaan/emosi, rasa senang, kecewa, dll.
2. Verstehen : mengerti/memahami, bukan pengertian biasa tetapi yang mendalam. sadar = sadar akan "beradanya", dengan itu seluruh dunia = berarti. Ia harus buat rencana terhadap dunia harus diapakan.
3. Rade : berbicara, mewujudkan asas yang eksisensial bagi kemungkinan untuk berbicara & berkomunikasi kata berhubungan dengan arti :
• Manusia adalah makhluk yang berbicara. Sambil berbicara ia mengungkapkan diri (eksis).
• Manusia yang tidak eksis = mati.
• Mati bukan makna sebenarnya (meninggal), tapi memustahilkan segala kemungkinan dari diri kita.











BAB 4

KESIMPULAN

                     Dari pembahasan yang telah dipaparkan dapat kami simpulkan bahwa Dunia dalam Eksistensialisme Martin Heidegger adalah , bagaimana harusnya manusia menampakkan dirinya , kemampuannya kepada dunia . manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal diluar dirinya karena memiliki kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman , perkataan , atau pembicaraan . Yang dimaksud dengan mengerti dan memahami ialah bahwa manusia dengan kesadarannya akan berdaya diantara benda-benda lainnya harus berbuat sesuatu untuk menggunakan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya dan memberi arti manfaat pada dunia dalam kemungkinan- kemungkinannya. Bagi Heidegger, untuk mencapai manusia yang utuh maka manusia itu harus merealisasikan segala potensinya – meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak mampu merealisasikan semua itu, ia tetap berusaha sekuat tenaga dan mempertanggungjawabkan atas potensi yang belum teraktualisasikan. Dunia tanpa Eksistensialisme berarti dunia mati , seperti dalam dunia dalam karung , tanpa di ketahui apa isinya , apa manfaatnya , dan apa kemampuannya . Dengan adanya Eksistensialisme di dunia , manusia dapat diakui keberadaanya , manfaatnya dan kemampuannya . Dunia nyata dengan adanya Eksistensialisme .











Sunday, April 7, 2013

Eksistensialisme Jean-Paul Sartre

BAB 1
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Eksistensialisme berkembang pada abad XX di Prancis Jerman, bukan sebagai akibat langsung dari suatu keadaan atau sebab tertentu, tetapi sebagai sebuah respon yang dialami secara mendalam atas runtuhnya berbagai bangunan didunia barat yang sebalumnya dianggap stabil. Meletusnya perang dunia pertama pada akhirnya menghancurkan keyakinan akan berlanjutnya kemajuan beradaban menuju kebenaran dan kebebasan, kedamaian dan kesejahteraan yang dimunculkan pada Abad pencerahan dan bertahan sampai pecahnya perang ini. Dengan adanya PD1, runtuhlah keseimbangan kekuatan yang tampaknya stabil diantara bangsa-bangsa besar. Sebelum PD 1 berakhir, seluruh kekaisaran Rusia tercerai berai, dan segera diikuti perpecahan dan runtuhnya kekaisaran inggris, Prancis, Belgia, dan Belanda.
Revolusi Komunis 1917 di Rusia menjatuhkan semangat stabilitis politik, semangat bahwa era revolusioner telah berakhir. Struktur ekonomi juga dipandang jatuh karena Tekanan Besar pada 1920-an dan 1930-an yang muncul dari Eropa sampai Amerika Serikat, memunculkan keraguan mengenai bertahannya kebenaran ilmu politik klasik dan bertahannya kapitalisme. Ilmu pengetahuan itu sendiri mulai kehilangan kesan pastinya. Dan segala macam filsafal berguguran. Jalan menuju teritori filsafat diciptakan oleh kemajuan penelitian ilmiah. Ditambah lagi, filsafat mendapat serangan dari para penganut Empirisme dan dari memanasnya perkembangan ilmu pengetahuan Abad XX. Dan filsafat dianggap hanya sebagai relativitas sejarah, bahkan lebih buruk lagi dianggap berfungsi sebagai ideologi untuk kepentingan kelompok khusus.
Dengan melemahnya dan jatuhnya sedemikian banyak struktur eksternal kekuasaan – struktur ekonomi, politik, dan intelektual milik kekuasaan – seluruh struktur ini mulai kehilangan legitimasinya, dan kuasanya atas individu jadi terasa sudah tidak lagi bisa ditolerir. Karena ditentang dan dianggap sudah tak lagi memiliki legitimasi, kekuasaan eksternal pemerintahan, sistem ekonomi, dan dunia ilmu pengetahuan serta intelektualitas, dan manusia perorangan hanya bisa turun pada kekuasaan internal atas diri. Logikanya, para Eksistensialis kembali pada diri manusia sebagai pusat filsafat yang sejati dan sebagai satu-satunya kekuasaan yang legitimasinya kuat.
Dalam pertentangannya melawan struktur politik dan intelektual yang ada, eksistensialisme mengikuti jalan yang diambil Romantisme Jerman abad XIX dalam usahanya memusatkan filsafat pada jiwa manusia, subjek sadar, sebagai satu-satunya kekuasaan yang memiliki legitimasi, lebih dari ratusan tahun lalu. Romantisme, seperti yang kita lihat, digunakan era penganut Kant dalam filsafat untuk menddapatkan dalam diri desakan kekuasaan politik Jerman dan dari tekanan intelektual oleh Abad Pencerahan ilmu pengetahuan yang dibenci mereka.

B.   Rumusan Masalah

1.      Apakah eksistensi itu?
2.      Apakah eksistensialisme itu?
3.      Siapakah Jean Paul Sartre
4.      Bagaimana yang sebenarnya yang dimaksud Sartre mengenai Eksistensi Manusia Mendahului Esensinya?
5.      Apa kelemahan etika eksistensialisme?











BAB II
ACUAN TEORITIK
A.   Tokoh
“Aku membenci massa kanak-kanakku dan segala sesuatu yang tersisa darinya.”
– Jean- Paul Sartre
The Words (Les Mots), 1964
Inilah pernyataan pahit dari fisuf eksistensialisme Prancis Jean- Paul Sartre dalam autobiografinys, The Words, yang dia tulis ketika berusia lima puluhan dan buku ini menggambarkan kehidupannya sampai usia dua belas ditahun 1917. Autobiografi Sartre merupakan serangan keras yang ditujukan pada orangtuanya, kakek-neneknya, dan masyarakat borjuis dimana dia lahir. Sartre mengecam mereka semua dari sudut pandanganya sebagai seorang eksistensialis dan posisi Marxis waktu itu. Apakah ada intelektual atau seniman yang telah menulis begiti kasar mengenai gambaran masa kecilnya sendiri? Tampaknya kita cukup ragu.
Seperti apa masa kecil ini – masa kanak-kanak dari seorang pelopor filsafat eksistensialisme abad XX yang paling berpengaruh? Sartre lahir di Paris Prancis,  pada 21 Juni 1905 – 15 April 1980 M. Ia berasal dari keluarga cendikiawan. Ayahnya seorang perwira besar Angkatan Laut Prancis. Ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ketika masih kecil ayahnya meninggal sehingga ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan dirumah kakeknya. Dibawah pengaruh kakeknya, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan dan bakat-bakat Sartre dikembangkan secara maksimal.
Mesti Sartre dididik secara agamis oleh kakeknya dan bahkan dibaptis, dalam perkembangan usia dan pemikirannya, Ia justru tidak menganut agama apapun dan bahkan tidak percaya pada Tuhan. Ia hidup seranjang  dengan Simon de Beauvoir tanpa nikah. Baginya perikahan adalah suatu lembaga borjuis saja. Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris, dan ia bertemu dengan Husserl. Semenjak itu ia mendalami fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat eksistensialisme.
Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia justru tidak menganut agama apapun. Ia atheis. Ia memngaku sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang
Ia adalah filsuf sekaligus penngembang aliran eksistensialisme. Menurut Saertre, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L’existence precede l’essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya dimasa lalu. Karena itu, menurut Sartre, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L’homme est condamne a etre libre).
Pada tahun 1964 Ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 disebuah rumah sakit di Broussais, Paris. Upacara pemakanmannya dihadiri kurang lebih lima puluh ribu orang. Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama Simon de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingless atau Ada dan Ketiadaan.

B.   Konsep Dasar Aliran
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan pada eksistensi. Para pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan esensi dari segala yang ada. Karena memang sudah dan tidak ada persoalan. Kursi adalah kursi. Manusia adalah manusia. Namun, mereka mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada dan untuk apa berada. Oleh karena itu, mereka menyibukkan diri dengan memikirkan tentang eksistensia. Dengan mencarai cara berada dan eksis yang sesuai, esensiapun ikut terpengaruh.
Dengan pengolahan eksistensia secara tepat, segala yang ada bukan hanya berada, tetapi berada dalam keadaan optimal. Untuk manusia, ini berarti bahwa dia tidak sekadar berada dan eksis, tetapi berada dan eksis dalam kondisi ideal sesuai dengan kemungkinan yang dapat dicapai. Dalam kerangka pemikiran itu, menurut kaum eksistensialis, hidup ini terbuka. Nilai hidup yang paling tinggi adalah kemerdekaan. Dengan kemerdekaan itulah keterbukaan hidup dapat ditanggapi secara baik. Segala sesuatu yang menghambat, mengurangi atau meniadakan kemerdekaan harus dilawan. Tata tertib, peraturan, hukukm harus disesuaikan atau, bila perlu, dihapus dan ditiadakan. Karena adanya tata tertib, peraturan, hukum dengan sendirinya sudah tak sesuai dengan hidup yang terbuka dan hakikat kemerdekaan. Semua itu membuat orang terlalu melihat kebelakang dan mengaburkan masa depan, sekaligus membuat praktik kemerdekaan menjadi tidak leluasa lagi.
Dalam hal etika, karena hidup ini terbuka, kaum eksistensialis memegang kemerdekaan sebagai norman. Bagi mereka, manusia mampu menjadi seoptimal mungkin. Untuk menyelesaikan proyek hidup itu, kemerdekaan mutlak diperlukan. Berdasarkan dan atas norma kemerdekaan, mereka berbuat apa saja yang dianggap mendukung penyelesaian proyek hidup. Sementara itu, segala tata tertib, peraturan, hukum tidak menjadi bahan pertimbangan. Karena adanya saja sudah mengurangi kemerdekaan dan isisnya menghalangi pencapaian cita-cita proyek hidup. Sebagai ganti tata tertib, peraturan, dan hukum, mereka berpegang pada tanggung jawab pribadi. Mereka tak memedulikan segala peraturan dan hukum, dan tidak mengambil pusing akan sanksi-sanksinya. Yang mereka pegang adalah tanggung jawab pribada dan siap menanggung segala konsekuensi yang datang dari masyarakat, negara, atau lembaga agama. Satu-satunya hal yang diperhatikan adalah situasi.
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada watak manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada---seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.


















BAB III
PEMBAHASAN

Tema/ Isu Aliran Ini
Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist. Kata exist itu sendiri berasal dari bahasa ex keluar, dan sister berdiri. Jadi, eksistensi itu berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Filsafat eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Filsafat eksistensialisme lebih sulit ketimbang eksistensi.
Dalam filsafat dibedakan antara esensia dan eksistensia. Esensia membuat benda, tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala yang ada mendapatkan bentuknya. Oleh esensia, kursi menjadi kursi, manusia menjadi manusia. Namun, dengan esensia saja, segala yang ada belum tentu berada. Kita dapat membayangkan kursi dan manusia. Namun, belum pasti apakah semua itu sungguh ada, sungguh tampil, sungguh hadir. Disinilah peran eksistensia.
Eksistensia membuat yang ada bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis. Oleh eksistensia, kursi dapat berada ditempat, dan manusia dapat hidup, bekerja, berbakti dan dapat membentuk kelompok bersama manusia lain. Selama masih bereksistensia, segala yang ada dapat ada, hidup, tampil, hadir. Namun, ketika eksistensia meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak hadit. Kursi lenyap dan manusia mati. Demikianlah penting peranan eksistensia. Olehnya segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, dan berperan. Tanpanya, segala sesuati tidak nyata ada apalagi hidup dan berperan.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia. Filsafat eksistensialisme membicarakan cara berada manusia didunia. Dengan kata lain filsafat ini menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Cara itu hanya ada khusus pada manusia karena hanya manusialah yang bereksistensi, binatang, tumbuhan, bebatuan memang ada, tetapi mereka tidak dapat disebut bereksistensi karena mereka tidak mempunyai kesadaran tentang dirinya atau kesadaran sekelilingnya.
Eksistensi berarti keberadaan, akan tetapi didalam filsafat eksistensialisme istilah eksistensi memiliki arti tersendiri. Tampaknya di dalam filsafat eksistensialisme istilah eksistensi memiliki arti cara manusia berada di dalam dunia, dan hal ini berada dengan cara berada benda-benda, sebab benda-benda tidak sadar akan keberadaannya sebagai sesuatu yang memiliki hubungan dengan yang lain. Secara lengkap eksistensi memiliki hubungan dengan yang lain, dan berada disamping yang lain. Secara lengkap eksistensi memiliki makna bahwa manusia berdiri sebagai dirinya dengan keluar dari diri sendiri. Maksudnya ialah manusia sadar bahwa dirinya ada. Dalam pemikiran ini jelas bahwa manusia dapat memastikan diri bahwa dirinya ada.
Bagi Sartre, manusia atau keadaan kebebasan untuk membentuk dirinya dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti bahkan tidak masuk akal. Tetapi, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan, keluhuran budi dan keberanian dan dia dapat membentuk masyarakat. Karena memiliki ciri seperti ini, maka manusia dapat menangani masalahnya sendiri dan mengandalkan pilihan dan tindakannya supaya dapat hidup didunia.
Jean- Paul Sartre, filsuf sekaligus pengembang aliran eksistensialisme, mengatakan bahwa  eksistensi lebih dulu ada dibanding esensinya. Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya dimasa lalu. Pandangan ini sangat janggal sebab biasanya sesuatu harus ada esensinya lebih dulu sebelum keberadaannya. Dalam pernyataan ini, Sartre menempatkan eksistentia dan essentia menurut makna metafisikanya, di mana, dari zaman Plato dan seterusnya telah mengatakan bahwa essensia mendahului eksistensia. Sartre membalik pernyataan ini.
Oleh pandangan-pandangan Sartre yang terkandung didalam dirinya, ada beberapa kelemahan etika eksistensialis.
Ø  Etika eksistensialis terperosok kedalam pendirian yang individualistis. Dengan pendiriran itu, alih-alih melaksanakan proyek hidup, bisa-bisa para pengikut aliran eksistensialis hanya mencari dan mengejar kepentingan diri. Karena yang baik ditentukan sendiri bukan berdasarkan norma, maka yang dianggap baik bukanlah kebaikan sejati, melainkan baik menurut dan bagi diri mereka sendiri. Cara memandang kebaikan yang individualistis itu dapat merugikan sesama, masyarakat dan dunia.
Ø  Dengan mengabaikan tata tertib, peraturan, hukum, kaum eksistensialis menjadi manusia yang anti-sosial. Tidak dapat disangkal bahwa ada norma masyarakat yang sudah usang. Namun, menyatakan  segala norma tak berlaku sungguh melawan akal sehat. Sebab, norma  masyarakat merupalan hasil perjalanan pencarian yang tidak mudah untuk ditiadakan.
Ø  Dengan mengambil sikap bebas merdeka, kaum eksistensialis memandang kemerdekaan sebagai tidak terbatas. Padahal, dalam hidup ini tidak ada kemerdekaan yang tanpa batas. Seberapa “hebat”-nya manusia, tidak mungkinlah dia mampu mewujudkan kemerdekaannya secara penuh. Selama orang hidup dalam masyarakat, pelaksanaan kemerdekaan akan selalu dibatasi oleh pelaksanaan kebebasan orang lain.
Ø  Kaum eksistensialis amat memperhitungkan situasi. Namin, situasi itu mudah goyah. Kelemahan ini masih diperkuat oleh sikap individualistis yang dipegang kaum eksistensialis. Etika eksistensialis memiliki unsur-unsur kebaikan yang positif. Namun, bila tidak mengurangi dan melepaskan kelemahan-kelemahannya, maka eksistensialisme akan melemahkan arti dan sumbangan-sumbangannya yang sangat berharga tersebut.
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.


Kritik terhadap Sartre
Salah satu kritik yang ditujukan pada pandangan Sartre tentang kebebasan dilontarkan oleh Albert Camus, sastrawan Prancis yang juga pernah bersahabat dengan Sartre, serta sama-sama tergolong dalam aliran eksistensialisme.
Camus menyatakan, dengan mencanangkan bahwa manusia adalah kebebasan dan dengan menganggap kebebasan manusia itu absolut, maka terselubunglah kenyataan bahwa dalam banyak hal manusia sama sekali belum bebas. Jika ditekankan bahwa manusia adalah bebas seratus persen, maka orang tidak dikerahkan untuk mengusahakan pembebasan. Manusia yang dilukiskan oleh Sartre itu hidup dalam suatu surga firdaus, yang jauh berbeda dengan kenyataan konkret, di mana serring kali ia terbelenggu oleh berbagai macam ketidakbebasan.
Sedangkan dalam Letter on Humanism, Heidegger mengritik eksistensialisme Sartre. Heidegger menyatakan: “Eksistensialisme mengatakan, eksistensi mendahuluiesensi. Dalam pernyataan ini, dia (Sartre) menempatkan existentia dan essentia menurut makna metafisika mereka, di mana, dari zaman Plato dan seterusnya telah mengatakan bahwa essentia mendahului existentia. Sartre membalik pernyataan ini. Namun pembalikan dari sebuah pernyataan metafisika tetaplah sebuah pernyataan metafisika. Dengan ini, dia (Sartre) tetap dengan metafisika, dengan melupakan kebenaran dari Mengada (Being).”










BAB IV
KESIMPULAN

Filsafat eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang mengguncangkan dunia walaupun filsafat ini tidak luar biasa dan akar-akarnya ternyata tidak dapat bertahan dari berbagai kritik. Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain.
Eksistensialisme menjadikan para penganut aliran ini menjadi orang-orang yang individualistis dan anti social sebab mereka akan menhalalkan segala cara untuk mencapai keadaan yang paling optimal sebagai manusia maka segala peraturan, hukum dan ajaran agama akan menghalangi tujuan mereka mencapai tujuannya.