BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Eksistensia membuat
yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis.Oleh eksistensia
kursi dapat berada di tempat.Pohon mangga dapat tertanam, tumbuh,
berkembang.Harimau dapat hidup dan merajai hutan. Manusia dapat hidup, bekerja,
berbakti, dan membentuk kelompok bersama manusia lain.
Selama masih
bereksistensia, segala yang ada dapat ada, hidup, tampil, hadir.Namun, ketika
eksistensia meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup,
tidak tampil, tidak hadir.Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi kayu mangga.
Harimau menjadi bangkai. Manusia mati. Demikianlah penting peranan eksistensia.
Olehnya, segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, dan berperan.
Hal – hal yang layak dan patut
untuk di eksiskan patut untuk ditampilkan agar semua orang tau keberadaan hal
tersebut , eksistensialisme berperan penting untuk kehidupan kita agar kita
manusia satu sama lain saling mengetahui , menghargai dan mengakui keberadaan
manusia lain yang ada di sekitar kita .
Martin Hiedegger
memulai karirnya sebagai orang kristen baru. Dia memperoleh dokter di “Freiburg
im Breisgau”, dan lalu ia mengikuti jejak pemikiran Husserl. Ia menyusun
skripsi tentang katogori dan signifikansi dari ajaran duns Scotus’s. Ia lalu
menjadi koeditor di “Jahrbuch fur philosophie und phanomenologische forscbung”.
Heidegger merupakan pemikir yang ekstrim, hanya beberapa filsuf saja yang
mengerti pemikiran Heidegger. Pemikiran Heidegger selalu tersusun secara
sistematis. Tujuan dari pemikiran Heidegger pada dasarnya berusaha untuk
menjawab pengertian dari “being”. Di dalam realitas nyata being (sein) tidak
sama sebagai “being” ada pada umumnya, sesuatu yang mempunyai ada dan di dalam
ada, dan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ada sebagai pengada.
Heidegger menyebut being sebagai eksistensi manusia, dan sejauh ini analisis
tentang “being” biasa disebut sebagai eksistensi manusia (dasein).
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah
Eksistensialisme dalam kajian Filsafat ?
2.
Bagaimanakah
Eksistensialisme dalam pandangan Martin Heidegger ?
BAB
2
ACUAN
TEORITIK
2.1 Tokoh Aliran ( Martin Heidegger
1889 – 1976 )
Martin Heidegger lahir di Baden ,
Jerman . Ayahnya bekerja sebagai Kosfer di Gereja ST.Martius . Ia belajar di
Konstanz , kemudian ia masuk Universitas Freiburg, Jurusan Teologi. Namun,
tidak lama kemudian ia beralih menekuni bidang filsafat . Faoucault meraih doktor
filsafat lewat disertasinya , Die Lehre
Vom Urteil Im psychologismus .
Pada
tahun 1915, ia mulai mengajar di bangku kuliah ia sudah mendalami
fenomenologinya Edmund Husserl. Ketika Husserl bekerja di Freiburg, kehadiran
itu membawa pengaruh besar asistennya . Pada tahun 1923 ia diundang ke
Universitas Marburg dan diangkat menjadi professor. Di sini ia bertemu dengan
Rudolf Bultman, seorang teolog terkemuka Protestan. Pada tahun 1928 ia diangkat
menjadi professor di Freiburg sebagai pengganti Husserl.
Ketika Hitler berkuasa di Jerman,
Heidegger di pilih menjabat sebagai rector karena keterlibatannya di partai
Nazi. Tetapi, banyak orang menyayangkan keterlibatan Heidegger dalam membantu
aktivitas Nazi tersebut. Namun demikian , Heidegger belakangan sangat menyesal
dengan sikapnya itu dan ia mengundurkan diri dan menyepi di desa terpencil
sampai akhir hayatnya.
Heidegger adalah salah seorang
murid Hegel. Berbeda dengan gurunya. Heidegger tidak menaruh perhatian sama
sekali terhadap metode filsafat atau penyelidikan Husserl mengenai matematika.
Sebelum ia menjadi fenomenolog, ia dikenal sebagai mahasiswa teolog yang pandai
yang acapkali melontarkan pertanyaan – pertanyaan kritis dan eksistensialis .
Filsafat Heidegger dianggap
sebagai prestasi monumental dan termasuk filsafat yang paling kuat dan
berpengaruh hingga abad ini. Pemikiran filsafatnya terdiri atas dua bagian.
Bagian pertama banyak dia curahkan dalam karyanya yang berjudul Being and Time, yang terbit pada tahun
1928. Pada karya awal tersebut ia lebih memisisikan diri sebagai fenomenolog.
Tapi tak sedikit orang yang mengategorikannya selain sebagai fenomenolog juga
sebagai seorang eksistensialis.
Seperti Kierkegard, Heidegger
menyelediki arti eksistensi yang autentik, makna kekekalan kita, tempat kita di
dunia dan di antara oang lain sebagai individu. Karya Heidegger kemudian
membuat putaran yang berbeda. Selama ia berfilsafat, Heidegger menegaskan
sebagaimana gurunya Husserl ia memulai dari presuposisi-presuposisi yang
muaranya kea rah pemahaman filsafat yang holistic.
Karya awal Heidegger
tersebut dipahami sebagian kalangan dalam dua aspek penting. Pertama, Heidegger
memperlihatkan anti Cartesianisme yang mendalam , khususnya mengenai pikiran
dan tubuh, pembedaan antara subjek dan objek, pemisahan linguistic atas
kesadaran, pengalaman dan pikiran . Kedua, filsafat Heidegger sebagian besar
adalah pencarian terhadap autentisitas yang dapat dipahami dengan penjelasan
tertentu sebagai keutuhan .
Beberapa karya Heidegger
antara lain ; Sein and Xeit ( ada dan
waktu ) 1927 , Kunt und das problem der
metaphysic ( apakah metafisika ? ) 1929, Holzawage ( jalan-jalan buntu ) 1957, Vortrage und Aufsatze 1957 , Identitat
und differenz 1969 , Zur sache des
dekes 1969, Ein uhrung in die
metaphysic 1953, Was heist denken 1954, Nietzche
1961, Phenomenologie und Theologie.
Dalam buku Sein und Zeit
Heidegger menguraikan tentang ada secara mendalam, tetapi sebelum sampai pada
langkah ini , filsuf ini menajukan pertanyaan , siapakah yang mengajukan
permasalahan tentang ada itu ? Makhluk tidak lain adalah Manusia. Tetapi, ia
tidak menyebutkan manusia, tetapi “subjek, aku, pesona, kesadaran”. Sedangkan
manusia dengan nama desain. Kata ini dari kata sein = ada, dan kata da = di
situ. Manusia tidak ada , befitu saja tetapi secara erat bertautan dengan
adanya sendiri.
Menurut Hidegger , manusia
itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang untuk
bereksistensi dengan hal-hal diluar dirinya karena memiliki kemampuan seperti
kepekaan, pengertian, pemahaman , perkataan , atau pembicaraan . Yang dimaksud
dengan mengerti dan memahami ialah bahwa manusia dengan kesadarannya akan
berdaya diantara benda-benda lainnya harus berbuat sesuatu untuk menggunakan
kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya dan memberi arti manfaat pada
dunia dalam kemungkinan- kemungkinannya. Bagi Heidegger, untuk mencapai manusia
yang utuh maka manusia itu harus merealisasikan segala potensinya – meski dalam
kenyataannya seseorang itu tidak mampu merealisasikan semua itu, ia tetap
berusaha sekuat tenaga dan mempertanggungjawabkan atas potensi yang belum
teraktualisasikan.
Sama halnya dengan konsep
ada dan non-ada, konsep ada-dalam-dunia( Inggris: being-in-the-world, jerman:
in-der-welt-sein, Prancis:I’etre-dans-lemonade) juga merupakan konsep yang
fundamentasl bagi para eksistensialis alam rangka menerangkan gejala keberadaan
manusia . Konsep ada-dalam-dunia yang diperkenalkanoleh Martin Heidegger ini
mengandung implikasi bahwa manusia hidup atau mengungkapkan keberadaannya
dengan meng-ada di dalam dunia.
Untuk menangkap pengertian
yang jelas dan keluar dari istilah ada-dalam yang digunakan oleh Heidegger
memiliki arti yang dinamis, yakni mengacu kepada hadirnya subjek yang selalu
berproses. Demikian pula dunia yang dikemukakan Heidegger itu harus dimenferti
sebagai hal yang dinamis, bisa hadir da menampakkan diri dan bukan dunia yang
tertutup atau semata-mata suatu dunia fisik geografis yang terbatas dan
membatasi manusia . Heidegger sendiri menekankan bahwa ada dalam dunia adalah
seinkomen yang berarti manusia mampu berada .
Jadi, ada-dalam-dunia
itu tidak menunjuk pada fakta beradabnya manusia di dalam dunia seperti berada
dalam karung atau baju dalam lemari, melainkan mewujud pada realitas dasar
bahwa manusia hidup atau mengungkapkan keberadaannya di dunia sambil merancang,
mengolah atau membangun dunianya itu , Manusia dan dunia adalah suatu totalitas
yang menjadi relasi dialogis ( penggunaan tanda lambing dalam istilah ada dalam
dunia itu pun sudah mengisyaratkan pandangan total dan dialektif dari Heidegger
mengenai manusia dunia ). Totalitas dan dialektika manusia dunia itu mengandung
implikasi bahwa keberadaan manusia dan perkembangan dunia. Dalam kenyataan
manusia akan berkembang jika dia mengembangkan dunianya .
Selain
itu filsafat Heidegger yang paling fenomenal adalah berkaitan degang konsep
suasana hati (mood). Di dalam suasana hatilah kita”diataur” oleh dunia kita,
bukan dalam pendirian pengetahuan observasional yang berjarak. Suasana hati
juga dijadikan sebagai titik tolak untuk memahami hakikat diri dan siapa kita.
Barangkali inilah yang menguatkan pendapat banyak orang menilai Heidegger
sebagai sosok yang mampu melihat noumena
dan phenoumena.
2.2 Konsep Dasar Aliran (
Eksistensialisme )
Eksistensialisme
sering diartikan beragam, mulai dari paham yang dianut oleh para anggota
kesenian avant garde di paris; aliran filsafat yang membahas penderitaan hidup
dan mendukung tindakan bunuh diri; sistem pemikiran di Jerman yang bertendensi
anti-rasional; sampai pada aliran seni (tokoh-tokohnya antara lain Van Gogh,
Cezanne, dan Picasso) dan kesusastraan (tokoh-tokohnya misalnya Dostoeveski,
Kaffka, Baudalaeir, dan Rilke).
Istilah
eksistensi berasal dari kata Ex-Sitere, yang secara literal berarti begerak
atau tumbuh keluar. Dengan istilah ini hendak dikatakan oleh para
eksistensialis bahwa eksistensi manusia seharusnya dipahami bukan sebagai
kumpulan substansi-substansi, mekanisme-mekanisme, atau pola-pola statis,
melainkan sebagai “gerak” atau “menjadi”, sebagai suatu yang “mengada”. Dalam
konteks ini, pertanyaan krusial bukanlah, misalnya saja, apakah betul bahwa
saya terbuat dari bahan-bahan kimiawi tertentu, sehingga masalah yang saya
hadapi adalah bagaimana saya sadar akan kenyataan itu dan apa yang akan saya
lakukan kemudian.
Arti
eksistensi akan kita pahami secara jelas lagi kalau kita maninjau kembali
pembedaan tradisional antara istilah eksistensi dan esensi. Esensi menunjuk
pada, katakanlah, kecoklatan dari kayu ini, kepadanya, dan karakter-karakter
lain yang membuat tongkat itu menjadi berarti.
Eksistensialisme
dalam memahami manusia mempunyai beberapa pendahulunya yang sangat terkenal
dalam sejarah barat seperti Sokrates dalam dialog-dialognya, Agustinus dalam
analisa psikologi-dalamnya, Pascal dalam perjuangannya untuk menemukan sebuah
tempat bagi alasan-alasan hati yang tidak diketahui oleh rasio. Tetapi cara
pemahaman Eksistensialisme yang lebih berpengaruh muncul secara khusus seratus
tahun yang lalu dalam protes-protes keras Kierkegaard terhadap rasionalisme dan
Idealisme Hegel yang sangat berpengaruh waktu itu.
Soren
Kierkegaard menyatakan bahwa pengertian Hegel tentang kebenaran yang abstrak
mengenai kenyataan merupakan suatu ilusi dan penuh tipu daya. Kebenaran itu
ada, demikian tulis Kierkegaard, hanya setelah individu membuat kebenaran itu
dalam tindakan. Para eksistensialis lainnya mengkritik para rasionalis dan
idealis yang melihat manusia sebagai subjek, yakni memandang manusia hanya
sebagai makhluk berpikir.
Ekisistensi
dari hal-hal Individual, dengan demikian, diluar gambaran yang abstrak itu.
Misalnya kita dapat menunjukan bahwa tiga apel ditambah tiga apel sama dengan
enam. Tetapi ini akan sama halnya kalau apel diganti dengan jeruk, secara
matematis tidak ada perbedaan mendasar apakah apel atau jeruk itu ada atau
tidak ada.
Dengan
demikian, bahwa sebuah proposisi dapat saja benar tanpa ada masalah apakah yang
ditunjukkan itu nyata (real) atau tidak. Maka dari itu pertanyaan-pertanyaan
yang sering muncul dalam Eksistensialisme adalah, apakah secara abstrak benar
dan apa yang secara eksistensial nyata bagi pribadi-pribadi atau individu.
BAB
3
PEMBAHASAN
3.1 EKSISTENSIALISME SEBAGAI
FILSAFAT
Dalam kajian filsafat,
benturan antar aliran akan banyak ditemui, terutama setelah satu pandangan
dengan pandangan lain bertemu pada satu tema besar yang menjadi inti dari
masing-masing aliran itu. Dampaknya, untuk para pemula dalam bidang ini, akan
mengalami berbagai macam kebingungan karena komplektisitas dan penuh dialektika
didalamnya.
Husserl
telah memberikan banyak rangsangan pada para filsuf eksistensialis seperti
Heidegger, Sartre, dan Merleau-Ponty. Akan tetapi arus filsafat eksistensial
bergerak kearah yang berbeda dengan yang dituju oleh Husserl. Jika filsafat
Husserl berurusan dengan esensia berbagai hal, para eksistensialis bergumul
dengan eksistensial. Bagi sejumlah eksistensialis kontomporer, fenomenologi
adalah titik keberangkatan dan fase perama dari evolusi filsafat mereka.
Beberapa eksistensialis itu, membentuk hubungan yang erat dengan fenomenologi
dari pada para eksistensialis lainnya. Akan tetapi, bagaimanapun, segenap
eksistensialis,menerima metode fenomenologis sebagai metode yang mendasar dan
sah.karena itu, boleh dikatakan bahwa para eksistensialis dalah juga
fenomenolog, tetapi tidak sebaliknya.
Meskipun
eksistensialisme berhutang banyak pada fenomenologi, ilham-ilhamnya yang
esensial berasal dari sumber-sumber yang lain, yakni pemikiran-pemikiran
Kierkegaard dan friedrich Nietz (1844-1900), bahkan dari pada pemikir yang
lebih awal. Gerakan baru ini timbul secara bersamaan dan mandiri dibeberapa
negara serta menyebar dengan cepat. Persamaan iklim intelektual serta faktor-faktor
dan kondisi-kondisi umum bisa menerangkan bagaimana eksistensialisme timbul dan
memperoleh penerimaan dibanyak negara.
3.2 EKSISTENSIALISME DALAM DUNIA HEIDEGGER
Martin Heidegger sepintas
mungkin dinilai matematis dan kaku dalam menenun eksistensialismenya. Namun,
hal tersebut sesungguhnya tidak identik dengan Martin Heidegger. Ia memiliki
bangunan filosofis yang permanen dengan keterbukaannya yang luar biasa untuk
mengantar filsafat pada pencarian sesuatu yang terdalam pada hal-hal lain yang
berada di sekelilingnya. Hal-hal yang mengitari proses identifikasi human.
Dengan demikian filsafat Heidegger adalah rangkaian arus berpikir yang tidak
hanya mengetengahkan makna dari penjumlahan dalam dan luar belaka, melainkan
bagaimana manusia dalam proses menjadi dan mencari arti keberadaaannya mampu
memasuki ranah makna hal-hal di luar dirinya sebagai dirinya. Ekternalisasi
eksistensialisme Martin Heidegger merupakan salah satu bagian dari filosofi
keberadaan yang memberi ruang bagi interaksi manusia dengan hal-hal sekitar.
Kalau pada Sartre interaksi itu dipenuhi oleh gaya kebebasan, maka pada
Heidegger interaksi itu ditentukan oleh pemberian makna. Apa yang dimaknai di
luar diri kemudian menjadi salah satu bagian yang tidak bisa dilepaskan dari
eksistensi manusia sendiri. Yang di luar manusia harus bisa dicari benang
merahnya dengan manusia itu sendiri. Semua yang di luar baru bermakna apabila
manusia mendekatinya. Manusia mampu menjadi yang lain dengan mengembangkan
pemaknaannya serentak semua yang lain yang berada di luar manusia tersebut
ditarik ke dalam ranah individu, karena semua yang lain itu adalah pemenuh arti
manusia sendiri. Manusia menjadi penuh karena keterhubungan ini.
Karya
filsuf asal Jerman yang santer disebut sebagai bapak fenomenologi yang
mengantar aras pemikiran pada gerbang post-modernisme ini juga berhasil memberi
apresiasi berbeda dari ciri filsafat klasik. Kalau pada metodologi klasik
segala sesuatu didekati dengan berbagai cara dan proses untuk mengetahui makna
terdalam, maka pada Martin Heidegger segala sesuatu diarahkan pada usaha
memberi makna pada keberadaan. Segala sesuatu ditarik pada keterhubungannya
yang apa adanya, tanpa memberi titik berat pada latar pengalaman dan
kejadian-kejadian yang berhubungan. “Sesuatu” dinilai berdasarkan hubungan
eksternalnya, hal-hal yang mengondisikan bagaimana sesuatu itu menjadi. Pada
titik ini, individu bisa menjadi yang lain tetapi pemaknaan ini harus bergema
pada identifikasi keberadaannya.
Yang
ada di luar manusia akan berarti jika digunakan manusia. Di dalam dirinya,
“hal-hal di luar” tidak memiliki makna. Mereka baru memiliki makna jika manusia
merengkuhnya seturut tujuan dan alasan mengapa mereka digunakan. Pertanyaan
tentang apa itu sesuatu tidaklah lebih penting ketimbang, bagaimana sesuatu itu
bernilai dalam kontrol individu tertentu.
Pada
akhirnya HEIDEGGER merasa mencapai metafisika yang lengkap dan sungguh-sungguh,
jadi filsafat tentang ada yang sistematis. Hal ini menjauhkannya dari pendapat
KIERKEGAARD. Begitu pula berlainan benar pendapatnya, karena dari eksistensi
manusia tak dilihatnya jalan kepada Tuhan. Sehingga filsafatnya cenderung
mengandung pemahaman ateisme.
PEMIKIRAN
DAN METODE HEIDEGGER
1.
Ditujukan pada pemecahan konkrit masalah "berada". Sebab selama ini
pengertian kita tentang itu masih "samar".
2.
"Berada" hanya dapat dijawab lewat "mitologi", artinya jika
dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungannya dengan itu.
Agar usaha itu berhasil mereka harus gunakan "fenomenologi" > sebagai
metode.yang penting apa arti "berada".
3.
Satu-satunya "berada" yang dengan sedirinya dapat dimengerti sebagai
"berada" adalah beradanya manusia.
4.
Harus dibedakan antara "sein" = barada/manusia dengan
"seinde" = yang berada/benda. Benda-benda hanya "varhanden"
= jika dipandang pada dirinya sendiri, hanya terletak begitu saja didepan orang
tanpa adanya hubungan dengan orang itu.
5.
Manusia > bberdiri sendiri tanpa mengambil tempat di tengah-tengah dunia
sekitarnya. Dengan demikian berarti ia "berada" bukan "yang
berada".
•
Keberadaan manusia disebut "dasein" = berada di sana, di tempat.
Untuk itu, manusia harus keluar dari dirinya sendiri dan berdiri di
tengah-tengah segala yang berada.
•
Dasein manusia disebut juga eksistensi = benda dalam dunia. Misal : kayu bakar
dll.
•
Secara fenomenologis : hubungan manusia dan dunianya bersifat praktis = ia
sibuk dengan dunia/mengerjakan dunia (besargen=menyela-nyelakakan)
•
Di dunia, manusia berbuat. Berbuat : Praktis & teoritis (manusia diam).
Praktis : manusia bertemu benda-benda dan berbuat dengan benda-benda itu.
contoh : kayu jadi kursi, dll.
•
Dalam hidupnya dengan alam sekitar, manusia bersikap praktis. Dengan demikian,
manusia sebenarnya terbuka dengan dunianya.
Keterbukaan
manusia bersumber pada 3 hal :
1.
Befindlicheit : kepekaan, diungkap dalam bentuk perasaan/emosi, rasa senang,
kecewa, dll.
2.
Verstehen : mengerti/memahami, bukan pengertian biasa tetapi yang mendalam.
sadar = sadar akan "beradanya", dengan itu seluruh dunia = berarti.
Ia harus buat rencana terhadap dunia harus diapakan.
3.
Rade : berbicara, mewujudkan asas yang eksisensial bagi kemungkinan untuk
berbicara & berkomunikasi kata berhubungan dengan arti :
•
Manusia adalah makhluk yang berbicara. Sambil berbicara ia mengungkapkan diri
(eksis).
•
Manusia yang tidak eksis = mati.
•
Mati bukan makna sebenarnya (meninggal), tapi memustahilkan segala kemungkinan
dari diri kita.
BAB
4
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah
dipaparkan dapat kami simpulkan bahwa Dunia dalam Eksistensialisme Martin
Heidegger adalah , bagaimana harusnya manusia menampakkan dirinya ,
kemampuannya kepada dunia . manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya.
Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal diluar dirinya karena
memiliki kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman , perkataan , atau
pembicaraan . Yang dimaksud dengan mengerti dan memahami ialah bahwa manusia
dengan kesadarannya akan berdaya diantara benda-benda lainnya harus berbuat
sesuatu untuk menggunakan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya dan
memberi arti manfaat pada dunia dalam kemungkinan- kemungkinannya. Bagi
Heidegger, untuk mencapai manusia yang utuh maka manusia itu harus
merealisasikan segala potensinya – meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak
mampu merealisasikan semua itu, ia tetap berusaha sekuat tenaga dan
mempertanggungjawabkan atas potensi yang belum teraktualisasikan. Dunia tanpa
Eksistensialisme berarti dunia mati , seperti dalam dunia dalam karung , tanpa
di ketahui apa isinya , apa manfaatnya , dan apa kemampuannya . Dengan adanya
Eksistensialisme di dunia , manusia dapat diakui keberadaanya , manfaatnya dan
kemampuannya . Dunia nyata dengan adanya Eksistensialisme .
No comments:
Post a Comment