Bab 1 Pendahuluan
1.1 latar Belakang
Masalah
Pada tahun 1000an telah terjadi suatu
perang besar dan berkepanjangan yang terkenal dengan sebutan Perang Salib.
Sebagai penyebabnya adalah karena “tanah suci” (Israel sekarang) secara silih
berganti diduduki atau dikuasai oleh raja-raja Islam. Masyarakat Barat yang
Kristen dan yang menganggap tanah suci itu sebagai milik mereka berusaha
merebutnya dari para penguasa Islam. Dalam perang tersebut para prajurit
Kristen memang menggunakan tanda-tanda salib pada pakaian dan
persenjataan mereka, disamping juga memang dipimpin oleh para raja Kristen.
Perang salib tersebut berlangsung
berkepanjangan, bahkan bangsa-bangsa Barat yang datang ke Indonesia pada akhir
abad 16 masih diliputi oleh suasana perang tersebut. Sebagai akibatnya adalah
terjadinya konflik-konflik dengan pedagang-pedagang Islam dari Timur Tengah
yang telah terlebih dahulu datang ke Indonesia dan juga dengan para penguasa
Islam setempat. Namun demikian juga terdapat dampak positip dari perang
tersebut, yaitu terjadinya kontak kebudayaan, dan lebih dari itu bangsa Eropa
mulai terbuka dan mengakui ketinggian kebudayaan Timur Tengah dan Asia. Mereka
menyaksikan kemewahan-kemewahan yang tidak dijumpai di Eropa, komoditi-komoditi
baru seperti rempah-rempah, lada, cengkeh dan lain sebagainya. Mereka akhirnya
juga mengakui bahwa dalam bidang kerajinan, kesenian, teknologi , bangsa Timur
Tengah dan Asia ternyata tidak kalah maju dibandingkan dengan bangsa-bangsa
Eropa. Perkembangan selanjutnya adalah terjadinya kontak perdagangan antara
Barat dan Timur yang sangat menguntungkan bangsa-bangsa Barat.
Muncullah kota-kota dagang di Eropa
Barat seperti Venesia, Leevant, Bologna dan sebaginya. Kota-kota dagang
tersebut terus berkembang dengan segala kekayaan dan kemewahannya, akan tetapi
juga saling berdiri sendiri (otonom) seperti kota-kota di Yunani. Persaingan
antar kotapun tak dapat dihindarkan, bahkan jika perlu dengan menggunakan
kekuatan militer untuk merebut dan menguasai kota-kota di sekitarnya. Oleh karena
itulah setiap kota berusaha untuk paling tidak mempertahankan diri dengan
menggunakan tentara sewaan. Hal inilah yang akhirnya mendorong munculnya
kesatuan-kesatuan militer komersial yang bisa disewa oleh siapapun yang mampu
membayarnya, yang disebut dengan istilah mercenary (Condittier). Sebagai
akibat lebih lanjut meletuslah kekacauan-kekacauan (anarkhi) di kota-kota
dagang yang kaya.
Pada sisi lain masyarakat pada
kota-kota yang kaya mulai meragukan atau paling tidak mempertanyakan kebudayaan
mereka sendiri yang selama itu dianggap paling unggul (Kristen) di seluruh bumi
dengan cara mempelajari koleksi perpustakaan-perpustakaan di biara-biara dan
gereja-gereja. Akhirnya mereka menemukan kembali karya-karya kebudayaan
Yunani yang sangat mengagumkan, baik berupa karya sastra, filsafat, arsitektur,
kisah-kisah kepahlawanan, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Mulai saat itulah
bangsa Eropa Barat betul-betul kembali menengok ke belakang yaitu ke jaman
Yunani dan Romawi, yang menandai perubahan yang dahsyat yang dijiwai oleh
pandangan hidup atau kebudayaan Yunani, dan lazim disebut dengan istilah
Renaissance.
Pengertian yang paling umum dan
sederhana dari renaissance adalah: penemuan kembali atau kelahiran kembali
(‘renasci’ dari bahasa Latin yang berarti dilahirkan kembali) dari
kebudayaan antik (Yunani kuno), termasuk di antaranya para sejarawannya.
Dibandingkan dengan jaman Abad Tengah bisa dikatakan tidak terdapat studi yang
sungguh-sungguh atas sejarah kuno, dan pengetahuan akan jaman kuno di
Barat pada waktu itu sangat terbatas. Walaupun terdapat pengaruh penulisan
sejarah Yunani terhadap sejarah Abad Tengah, akan tetapi pengaruh itu hanya
terbatas pada beberapa penulis atau sejarawan saja. Pada jaman Renaissance
paling tidak sebanyak ¾ karya sastra Latin ditemukan kembali. Artinya lebih
dari cukup kesusasteraan dan historiografi Yunani dilahirkan kembali. Hal itu terutama
juga sehubungan dengan masih adanya kontak-kontak dengan Kerajaan Yunani
Bisantium.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pandangan masyarakat pada saat itu tentang pemikiran Niccolo Machiavelli
terhadap bukunya yang terkenal "The Prince"?
Bab 2 Acuan Teoretik
2.1 Tokoh Aliran Renaissance
Niccolo Machiavelli
Machiavelli lahir tahun 1469 di
Florence, Italia dan meninggal tahun 1527 pada umur 58 tahun. Ayahnya adalah
seorang ahli hukum, tergolong anggota family terkemuka tetapi tidak begitu
berada. Selama hidup Machiavelli, Italia terbagi dalam negara-negara kecil.
Karena itu tidak mengherankan jika pada masa ini Italia lemah secara militer meskipun
brilian di segi kultur.
Dikala Machiavelli muda, Florence
diperintah oleh penguasa Medici yang masyhur, Lorenzo. Setelah Lorenzo
meninggal dunia tahun 1429, beberapa tahun kemudian penguasa Medici diusir dari
Florence. Florence menjadi Republik (Republik Florentine). Pada tahun 1498,
Machiavelli yang berumur dua puluh sembilan tahun, memperoleh kekuasaan tinggi
di pemerintahan sipil Florence. Selama empat belas tahun sesudah itu dalam
berbagai misi diplomatik atas namanya, melakukan perjalanan ke Perancis,
Jerman, dan di dalam negeri Italia.
Tahun 1512, Republik Florentine
digulingkan dan penguasa Medici kembali memegang tampuk kekuasaan, Machiavelli
dipecat dari posisinya, dan di tahun berikutnya ia ditahan atas tuduhan
terlibat dalam komplotan melawan penguasa Medici. Meski disiksa ia tetap
bertahan menyatakan tidak bersalah dan akhirnya dibebaskan pada tahun itu juga.
Sesudah itu dia pensiun dan berdiam di sebuah rumah perkebunan kecil di San
Casciano, tidak jauh dari Florence.
Semasa hidupnya, Machiavelli menulis
beberapa buku, yaitu :
1.
The Prince (Sang Pangeran), karya paling
monumental ditulis tahun 1513
2.
The Discourses upon the first Ten Books of Titus
Livius ( Pembicaraan terhadap Sepuluh Buku Pertama Titus Livius), ditulis tahun
1932
3.
The Art of War ( Seni Berperang), ditulis 1520
4.
A History of Florence (Sejarah Florence)
5.
La Mandragola (suatu drama yang bagus,
kadang-kadang masih dipertanggungjawabkan orang)
Asal mula konsep
pemikiran Niccolo Machiavelli
Berdasarkan
biografi Machiavelli, setelah keluar dari penjara karena disangka terlibat
dalam komplotan yang menentang kekuasaan Medici, Machiavelli pindah ke sebuah
rumah kecil di luar kota, disanalah dia menuangkan idenya dalam bentuk tulisan,
salah satunya The Prince.
Kejadian-kejadian
politik pada waktu itu meninggalkan kesan yang mendalam pada Machiavelli, ia
menyaksikan runtuhnya kekuasaan keluarga Medici yang sudah memerintah Negara
Florence selama beberapa generasi sekitar seratus tahun. Ia juga melihat
runtuhnya suatu kekuasaan yang tidak mendapat dukungan dari rakyat biasa.
Sementara
itu, Machiavelli melihat sendiri betapa tidak stabilnya kesadaran politik
rakyat biasa, karena gampang diombang-ambingkan oleh permainan politik golongan
aristokrat, dimana Savoranola juga menjadi anggotanya. Oleh karena itu, ia
sadar betapa tidak stabil kekuasaan itu. Padahal stabilitas kekuasaan sangat
menentukan pertumbuhan rasa aman dan kultur kerja di negara Florence seperti
dialami ketika Lorenzo Agung memerintah (Machivelli, 1987: xxi).
Selama
tinggal di pedesaan itulah muncul pertanyaan-pertanyaan di benak Machiavelli di
antaranya, “mengapa kekuasaan mudah runtuh?”. “Bagaimana caranya agar kekuasaan
tetap lestari?” saat itu ia sedang dipuncak kegundahannya. Hatinya pedih
menyaksikan Italia yang luluh lantak oleh serbuan pasukan asing, dan Florence
yang terus-menerus dilanda perebutan kekuasaan. Namun yang paling membekas di
hati Machiavelli adalah kekuasaan Republik Firenze, bentuk negara yang
diidam-idamkannya.
2.2 Konsep Dasar
Reanissance
Zaman renaissance sering disebut
sebagai sebagai zaman humanisme, sebab pada abad pertengahan manusia kurang
dihargai sebagai manusia, kebenaran diukur berdasarkan kebenaran gereja,
bukan menurut yang dibuat oleh manusia. Humanisme menghendaki ukuran haruslah
manusia, karena manusia mempunyai kemampuan berpikir, berkreasi, memilih dan
menentukan, maka humanisme menganggap manusia mampu mengatur dirinya dan
mengatur dunianya. Ciri utama renaissance dengan demikian adalah humanisme,
individualisme, lepas dari agama. Manusia sudah mengandalkan akal (rasio) dan
pengalaman (empiris) dalam merumuskan pengetahuan, meskipun harus diakui bahwa
filsafat belum menemukan bentuk pada zaman renaissance, melainkan pada zaman
sesudahnya, yang berkembang pada waktu itu sains, dan penemuan-penemuan dari
hasil pengembangan sains yang kemudian berimplikasi pada semakin ditinggalkan
agama kristen karena semangat humanisme. Fenomena tersebut cukup tampak pada
abad modern.
Zaman modern merupakan zaman
tegaknya corak pemikiran filsafat yang berorientasi antroposentrisme, sebab
manusia menjadi pusat perhatian. Pada masa Yunani dan abad pertengahan filsafat
selalu mencari substansi prinsip induk seluruh kenyataan. Para filsuf Yunani
menemukan unsur-unsur kosmologi sebagai prinsip induk segala sesuatu yang ada.
Sementara para tokoh abad pertengahan, Tuhan menjadi prinsip bagi segala yang
ada, namun pada zaman modern, peranan substansi diambil alih oleh manusia
sebagai ‘subjek’ yang terletak di bawah seluruh kenyataan, dan memikul seluruh
kenyataan yang melingkupinya. Oleh karena itu zaman modern sering disebut
sebagai zaman pembentukan ‘subjektivitas’, karena seluruh sejarah filsafat
zaman modern dapat dilihat sebagai satu mata rantai perkembangan pemikiran
mengenai subjektivitas. Semua filsuf zaman modern menyelidiki segi-segi subjek
manusiawi. Aku sebagai pusat pemikiran, pusat pengamatan, pusat kebebasan,
pusat tindakan, pusat kehendak, dan pusat perasaan.
Bab 3 Pembahasan
3.1 Isu Utama Pemikiran Niccolo
Machiavelli
Dalam bukunya Sang Penguasa ini, Niccolo
Machiavelli memberikan petunjuk bahwa untuk menjadi seorang penguasa boleh
melakukan segala cara. Ia juga memberikan nasihat bagaimana menjadi seorang
penguasa yang dapat mempertahankan kelanggengan kekuasaannya dengan mengabaikan
penilaian moralitas dan agama. Machiavelli memisahkan antara kekuasaan negara
dengan kehidupan beragama dan kepentingan moral. Ia hanya membahas bagaimana
mencapai tujuan yaitu kekuasaan apapun caranya.
Tujuan dari semua usaha penguasa itu,
adalah mempertahankan stabilitas suatu negara agar negara tetap aman dan
apabila ada ancaman baik itu dari dalam maupun dari luar negeri maka diadakan
tindakan penyelamatan. Tindakan yang diambil oleh penguasa tidak berdasarkan
kepentingan rakyat. Akan tetapi, tergantung dari keadaan dan desakan situasi
sosial tanpa mempedulikan apakah tindakan tersebut dinilai baik atau buruk oleh
rakyat. Seorang penguasa tidak perlu takut akan kecaman yang timbul karena
kekejamannya selama ia dapat mempersatukan dan menjadikan rakyat setia, dan
demi keselamatan negara. Menurut Machiavelli seorang penguasa jauh lebih baik
ditakuti oleh rakyatnya daripada dicintai.
Dalam usaha menegakkan kekuasaannya
seorang penguasa dapat melakukan tindakan yang mengabaikan penilaian moral dari
masyarakat, seperti misalnya keluarga dari penguasa sebelumnya harus
dimusnahkan semua untuk mencegah terjadinya pemberontakan di kemudian hari. Hal
itu harus dilakukan penguasa atas desakan dan tuntutan situasi dalam menguasai
suatu wilayah baru agar ancaman terhadap kekuasaan wilayah tersebut lenyap,
setelah itu baru menarik simpati rakyat agar mendapatkan dukungan. Cara lain
untuk mengamanan kekuasaannya diwilayah baru adalah penguasa baru harus tinggal
di wilayah tersebut, mendirikan koloni-koloni, dan menempatkan pasukan serta
infanteri dalam jumlah yang besar. Wilayah baru dapat diperintah oleh penguasa
penggantinya tanpa adanya pemberontakan walaupun penguasa baru tersebut telah
meninggal bila diperintah dengan bersatu dan para bangsawan tetap diberi kekuasaan
di wilayah mereka dimana mereka diakui dan dicintai. Jadi tugas penguasa adalah
mengamankan kekuasaan yang ada ditangannya agar dapat bertahan dengan langgeng.
Tujuan berpolitik adalah memperkuat dan memperluas kekuasaan. Untuk itu segala
usaha yang dapat mensukseskan tujuan dapat dibenarkan. Legitimasi kekuasaan
membenarkan segala teknik pemanipulasian supaya dukungan masyarakat terhadap
kekuasaan tetap ada. Keagungan seorang penguasa tergantung pada keberhasilannya
mengatasi kesulitan dan perlawanan.
3.2 Dampak Pemikiran tokoh terhadap
kehidupan
Pemikiran
Niccolo Machiavelli melahirkan pro dan kontra pada masyarakat luas sehingga
pemikiran beliau juga berdampak dalam kehidupan masyarakatnya. Dari pro dan
kontra tersebut lahir pula dampak yang ditimbulkan, baik dampak negatif ataupun
positif. Dampak negatifnya adalah bahwa pemikiran filsafat politik Machiavelli
sering memberi imajinasi para pelaku manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Ia menjadi sumber justifikasi teoretis bagi politik kekuasaan dan bagi
aksi-aksi politik yang keji dan tidak bermoral. Banyak petualang revolusioner
dan diktator mendapatkan formula kesadaran dari Machiavelli mengenai cara
menyikapi apa yang mereka anggap sebagai insting. Dengan menceraikan etika dari
politik, ia secara teoritis ikut melempangkan jalan bagi negara absolut dan
totalitarian yang sama sekali mengabaikan hak asasi manusia.
Dampak
positifnya adalah Niccolo mengajarkan seorang penguasa untuk menjaga dan
membuat rakyat setia pada negaranya hanya saja memang cara beliau dalam
menyampaikan pemikiran terlalu terbuka hingga terkesan terlalu berambisi
menguasai negara dan mengabaikan rakyatnya. Sebenarnya tidak ada yang salah
pada teori Niccolo (menurut ahli yang telah mempelajarinya), beliau hanya
menjabarkan apa yang perlu dan apa adanya. Dan terkadang memang seseorang harus
sesekali berbuat kejam untuk membuat orang yang diperintahnya segan dan patuh.
Bab 4 Kesimpulan
Pemikiran Machiavelli yang diutarakan
dalam bukunya (The Prince) tersebut menimbulkan pro dan kontra dikalangan
masarakat luas, terutama yang menyangkut hubungan antara kekuasaan dengan moral
agama. Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa Machiavelli sebagai guru yang
jahat (teacher of evil) yang telah keluar dari moral dan ajaran agama, sehingga
tak heran jika ia disebut guru yang jahat. Akan tetapi sebagian lainya
mengatakan bahwa ia tak sejahat itu. Beberapa bukti terhadap anggapan bahwa
Machiavelli adalah orang yang kejam, sadis dan tidak bermoral : yang pertama
Machiavelli berpendapat bahwa ada dua macam kerajaan, yaitu kerajaan warisan
dan kerajaan baru. Akan tetapi di antara dua kerajaan tersebut kerajaan barulah
sering menimbulkan masalah karena banyak menimbulkan kesan yang buruk seperti
untuk menguasai daerah baru, keluarga raja yang dulu berkuasa harus ditumpas
habis agar tidak menimbulkan pergolakan. Kedua perlu diadakan tindakan-tindakan
yang keras pada rakyat sehingga menimbulkan penderitaan yang besar bagi rakyat
itu. Dengan tujuan supaya rakyat tidak melawan kepada penguasa tersebut.
Menurut Machiavelli penguasa baru itu haruslah membuat suatu penderitaan yang
besar bagi sebagian rakyat. Ketiga apabila suatu negara yang baru saja direbut
, dan rakyatnya sudah terbiasa hidup bebas dan mengikuti hukum, maka cara yang
lebih baik untuk mempertahankan kekuasaan adalah menghancurkan kota itu, karena
kalau tidak, maka sang penguasa akan mengalami kesulitan dan bukan tanpa
disadari ia akan hancur sendiri. Keempat ada dua cara untuk menjadi penguasa di
wilayah baru, yaitu melalui kemampuan sendiri dan karena faktor nasib mujur.
Dalam usaha sendiri, langkah yang bisa ditempuh adalah menciptakan kerusuhan,
membuat negara berontak sehingga ia memperoleh kekuasaan dengan aman dari
sebagian negara yang sudah dikuasai penguasa lain. Seperti yang dilakukan
Alexander VI terhadap Orisis dan Collona. Kelima, dalam hal persekutuan dengan
penguasa lain terutama dalam rangka mencapai suatu tujuan, maka sah-sah saja
menggunakan tipu muslihat. Tipu muslihat itu dapat dibenarkan untuk
melanggengkan jalan menuju kekuasaan. Keenam, ketika penguasa menggunakan
kekuatan perang asing atau bayaran, maka setelah perang usai maka seharusnya
pasukan bayaran itu dibantai habis. Kejahatan itu diperlukan demi keselamatan
negara, karena jika ia menampakkan kebaikan, justru akan membahayakan dan
membawa kehancuran. Ketujuh, seorang raja tidak perlu bermurah hati untuk
membuat dirinya tersohor, kecuali kalau ia mempertaruhkan dirinya, karena jika
dilakukan menjadi rakus karena ingin menghindari diri dari kemiskinan, sehingga
ia menjadi rakus dan dibenci rakyatnya.
Machiavelli selanjutnya menjelaskan, bahwa sikap kejam raja sangat diperlukan seperti yang dilakukan Cesare Borgia, karena dengan kekejamannya ia menjadikan kerajaan Romagia lebih baik. Dengan usaha memulihkan keamanan dan kekuatan rakyat.
Jika diperhatikan justru ia memiliki sikap belas kasih dari pada orang Florence yang ingin tidak untuk disebutkan, tetapi membiarkan Viktoria dihancur leburkan. Oleh karena itu, raja tidak perlu khawatir terhadap kecaman yang ditimbulkan karena kekejamannya selama ia mempersatukan dan mewujudkan rakyat setia. Seorang raja yang memimpin pasukan tidak usah khawatir kalau disebut kejam, karena tanpa sebutan itu tidak akan pernah dapat mempersatukan dan mengatur pasukan selama itu, dengan cara tersebut justru ia semakin ditakuti dan dihormati pasukannya. Dengan demikian seorang raja harus mengandalkan apa yang ada padanya dan bukannya yang ada pada orang lain. Menurut Machiavelli, bahwa ada dua cara berjuang yaitu melalui hukum dan kekerasan cara pertama bagi manusia dan cara yang kedua adalah cara binatang. Oleh karenanya seorang raja harus bersikap kadang-kadang sebagai manusia dan kadang sebagai binatang, tak ubahnya seperti rubah dan singa. Dalam hal menepati janji, menurut Machiavelli manusia adalah mahluk yang jahanam yang tidak menepati janji, sehingga anda tidak perlu menepati janji pada manusia itu. Kemudian untuk pertahanan negara ia terpaksa bertindak berlawanan dengan kepercayaan orang, belas kasih, kebaikan, dan agama mengetahui bagaimana ia bertindak jahat jika diperlukan. Sementara itu cara untuk menghindari kebencian pada rakyat, maka seorang raja harus menunjuk orang lain untuk melaksanakan tindakan yang kurang menyenangkan rakyat, dan untuk melakukan sendiri pembagian penghargaan kepada rakyat. Sekali lagi penguasa harus tetap menghargai para bangsawan, tetapi tidak membuat dirinya dibenci rakyat.
Machiavelli selanjutnya menjelaskan, bahwa sikap kejam raja sangat diperlukan seperti yang dilakukan Cesare Borgia, karena dengan kekejamannya ia menjadikan kerajaan Romagia lebih baik. Dengan usaha memulihkan keamanan dan kekuatan rakyat.
Jika diperhatikan justru ia memiliki sikap belas kasih dari pada orang Florence yang ingin tidak untuk disebutkan, tetapi membiarkan Viktoria dihancur leburkan. Oleh karena itu, raja tidak perlu khawatir terhadap kecaman yang ditimbulkan karena kekejamannya selama ia mempersatukan dan mewujudkan rakyat setia. Seorang raja yang memimpin pasukan tidak usah khawatir kalau disebut kejam, karena tanpa sebutan itu tidak akan pernah dapat mempersatukan dan mengatur pasukan selama itu, dengan cara tersebut justru ia semakin ditakuti dan dihormati pasukannya. Dengan demikian seorang raja harus mengandalkan apa yang ada padanya dan bukannya yang ada pada orang lain. Menurut Machiavelli, bahwa ada dua cara berjuang yaitu melalui hukum dan kekerasan cara pertama bagi manusia dan cara yang kedua adalah cara binatang. Oleh karenanya seorang raja harus bersikap kadang-kadang sebagai manusia dan kadang sebagai binatang, tak ubahnya seperti rubah dan singa. Dalam hal menepati janji, menurut Machiavelli manusia adalah mahluk yang jahanam yang tidak menepati janji, sehingga anda tidak perlu menepati janji pada manusia itu. Kemudian untuk pertahanan negara ia terpaksa bertindak berlawanan dengan kepercayaan orang, belas kasih, kebaikan, dan agama mengetahui bagaimana ia bertindak jahat jika diperlukan. Sementara itu cara untuk menghindari kebencian pada rakyat, maka seorang raja harus menunjuk orang lain untuk melaksanakan tindakan yang kurang menyenangkan rakyat, dan untuk melakukan sendiri pembagian penghargaan kepada rakyat. Sekali lagi penguasa harus tetap menghargai para bangsawan, tetapi tidak membuat dirinya dibenci rakyat.
Written by Dewi Nur Azza and Sutya Agustina