BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu aspek
yang sangat penting dalam perkembangan kehidupan masyarakat. Pada awalnya setiap orangtua siswa-siswi
berharap kelak anak-anaknya akan menjadi orang yang mandiri dan tegar dalam
menghadapi kehidupan dengan jalan memasukannya ke sebuah lembaga pendidikan. Pada dasarnya pendidikan adalah manifestasi kehidupan.
Proses pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia untuk menjadi manusia yang
se-utuhnya. Namun yang terjadi ternyata tidak berjalan selaras pada
kenyataan yang diharapkan(khususnya di Negara Indonesia). Pendidikan yang
seharusnya menciptakan manusia yang mandiri dan mampu berkata ”ya pada
kehidupan” dengan terpeliharanya “kehendak untuk berkuasa”
ternyata telah mengalami dehumanisasi yang membuat manusia malah menjadi
lemah dan tidak berdaya dalam kehidupan serta asing dengan dunianya.
Ketidakmampuan dan ketidakberdayaan ini tercermin pada fenomena antrian
beribu-ribu penganggur yang mengajukan lamaran pekerjaan, dan hal ini terjadi
secara rutin dari tahun ke tahun, mereka berbondong-bondong membawa ijazah yang
menjadi tumpuan dan harapan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang diharapnya.
Manusia adalah penguasa atas dirinya, dan telah menjadi
ciri khas tersendiri bagi manusia bahwa ia mampu mengatasi masalahnya sendiri
dengan “kehendak untuk berkuasa” yang
dimilikinya. Dan oleh karena itu keinginan seorang manusia adalah merdeka dan
bebas. Hal yang seperti inilah yang diupayakan oleh Paulo Freire untuk
memperjuangkan pendidikan yang humanis, pendidikan yang tidak
merendahkan kemanusiaan
1.2 Rumusan Masalah
Dengan
menyadari betapa vitalnya aspek pendidikan dalam masyarakat, melalui makalah
ini, akan di bahas tentang pemikiran Paulo Freire yang telah luar biasa banyak
memberi kontribusi terhadap dunia pendidikan, antara lain:
1. Bagaimanakah
Pendidikan Kritis Berkesadaran yang dikemukakan oleh Paulo Freire dalam kajian
filsafat?
2. Bagaimanakah
pemikiran Kritis Berkesadaran yang dikemukakan oleh Paulo Freire berkontribusi
ke dalam dunia pendidikan?
BAB II
ACUAN TEORITIK
2.1 Tokoh Aliran (Paulo Freire, 1921-1997 )
Paulo Freire lahir pada 19 September
1921 di sebuah kota terpencil yang ada di Brazil yakni Recife, sebuah kota yang
terletak di pesisir pelabuhan di timur laut Brazil. Paulo Freire berasal dari keluarga kelas menengah ke atas, namun
kadang kekurangan finansial merupakan warna tersendiri dalam kehidupan
keluarganya, dan karena pola hidup dan kondisi sosial demikianlah yang
mengantarkan Freire akan arti lapar dan kesengsaraan hidup dalam sebuah
penindasan. Ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada
masa Depresi Besar 1929,
suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum
miskin dan ikut membangun pandangan dunia pendidikannya yang khas.
Ia benar-benar memahami betul arti lapar. Dengan kondisi sosial seperti itulah yang mendorongnya untuk
berjanji akan bekerja diantara kaum miskin dan mencoba untuk memperbaiki nasib
hidup mereka (orang-orang yang tinggal di sekelilingnya). Setelah situasi
ekonomi keluarganya sedikit membaik ia berkesempatan untuk kuliah di Fakultas
Hukum, University of Recife. Ia mulai belajar di Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum. Namun, di
sana ia juga belajar Psikologi, filsafat dan bahasa. Dalam masa-masa kuliahnya
ia bekerja sebagai instruktur di sebuah sekolah. Selama periode tersebut ia
mulai berkenalan dengan
filsafat dengan membaca karya-karya Karl
Marx, dan juga intelektual Kristen, Mariatin, Bernanos dan Mounier, yang semuanya mempengaruhi cara
pandang dan pemikiran Freire mengenai filsafat pendidikannya. Meskipun ia lulus
sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar mempraktekkan ilmu hukumnya
selama karier hidupnya. Sebaliknya, ia bekerja sebagai seorang guru
disekolah-sekolah menengah untuk mengajar bahasa Portugis.
Pada tahun 1944, tepatnya ketika Freire berumur 23 tahun, ia menikahi Elza Maria Costa Oliveira. Sebagai
seseorang yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan, ia lebih sering
menelaah bacaan tentang pendidikan daripada tentang hukum. Mereka berdua
bekerja bersama selama hidupnya sementara istrinya juga membesarkan kelima anak
mereka. Freire
diangkat sebagai Direktur dari Departemen Perluasan Budaya dari Universitas Recife pada 1961 dan pada 1962 ia mendapatkan kesempatan pertama untuk menerapkan secara luas teori-teorinya, ketika
300 orang buruh kebun tebu diajar untuk membaca dan menulis hanya dalam 45 hari. Pada awal tahun 1963-1964 tim yang dibuat Paulo Freire mulai
melakukan penyebaran ke segala pelosok negeri yang ada di Amerika latin untuk
melakukan pemberantasan buta huruf. Mereka berhasil menarik minat warga dalam
memberantas buta huruf dan berhasil membuat warga yang buta huruf tersebut
untuk bisa baca tulis. Pada 1946, Freire diangkat
menjadi Direktur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
pada Dinas Sosial di Negara bagian Pernambuco (yang ibu kotanya adalah Recife).
Kehidupan dan karir Freire sebagai seorang pendidik sangatlah
penuh optimis meskipun dikungkung dalam suasana kemiskinan, dan pengasingan.
Dialah pemimpin dunia yang memperjuangkan kebebasan bagi orang-orang miskin dan
pejuang perlawanan budaya bisu yang ada di banyak wilayah.
Selama bekerja itu, terutama ketika bekerja di antara orang-orang miskin yang buta huruf, Freire mulai merangkul
bentuk pengajaran yang non-ortodoks untuk orang dewasa yang belakangan
dianggap sebagai teologi pembebasan (Dalam kasus Freire, ini merupakan campuran Marxisme
dengan agama Kristen). Perlu dicatat bahwa di Brasil pada saat itu, melek huruf
merupakan syarat untuk ikut memilih dalam pemilu. Awal tahun 1960 merupakan masa-masa yang sulit bagi pemerintahan
Brazil. Namun meskipun itu adalah masa-masa yang sulit bagi hidupnya ia tak
pernah berhenti untuk melakukan perjuangannya dalam memerangi buta huruf yang
ketika masa itu masih menjamur di Negara tersebut. Pada 1964, terjadi sebuah kudeta militer yang mengakhiri
upaya itu dan menyebabkan Freire dipenjarakan selama 70 hari atas tuduhan
menjadi penghianat dikarenakan adanya kudeta dari Militer serta atas kegiatan
subversifnya.
Pada bulan
April 1964, militer melakukan agresi dan meruntuhkan rezim pemerintahan Goulat.
Seluruh gerakan progresif diintimidasi, dan Freire sendiri ditangkap selama 70 hari karena
aktivitas subversifnya dan dituduhnya ia menjadi pengkhianat. Ketika berada di penjara ia mulai menuliskan sebuah karya
pendidikan pertamanya yaitu; Education as the Partice of Freedom. Sebuah buku yang berisi renungan
Freire karena kegagalannya melakukan perubahan di Brazil, buku tersebut hanya
selesai ditulis setengahnya, dan kemudian ia merampungkannya di Chile dalam
masa pembuangan. Di Chile ia bekerja pada sebuah program pendidikan untuk orang
dewasa yang diketuai oleh Waldemar Cortes. Gerakannya di Chile telah
menarik perhatian dari pihak UNESCO. Dan kemudian UNESCO
menjadikan Chile menjadi salah satu dari lima Negara tersukses dalam mengatasi
buta huruf. Tahun 1969 ia
telah mendapatkan undangan dari Harvard University untuk mengajar di
Universitas tersebut sebagai Profesor tamu pada Harvard’s Center for
Studies and Development dan juga anggota kehormatan pada Center
for Study of Development and Social Change, yang mana pada masa ini merupakan tahun yang
penuh dengan kekerasan di Amerika Serikat, ketika keterlibatannya dalam perang
Vietnam kampus-kampus di Amerika bergejolak. Gejolak masalah rasial juga
mengikutsertakan kekerasan di jalan-jalan kota Amerika Serikat. Freire pun terpengaruh
akan kondisi sosial
pada waktu
itu. Dalam situasi seperti itu Freire menemukan bahwa tekanan dan penindasan
yang terjadi di dunia ketiga dalam tekanan masalah politik dan ekonomi ternyata
berlangsung dengan tak terbatas. Ia pun lalu menambahkan definisinya mengenai
dunia ketiga dari konsep geografis ke konsep politis. Tema kekerasan menjadi
ciri tersendiri bagi pemikiran dan tulisannya setelah masa itu. Ia menulis bukunya yang paling terkenal yaitu Pedagogy of the Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas), yang diterbitkan dalam bahasa Spanyol
dan Inggris pada 1970. Buku Pedagogy of the Oppressed hanya kemudian diterbitkan di Brasil pada tahun1974, dikarenakan adanya
perseteruan politik. Pada saat itu Jenderal Ernesto Geisel mengambil alih kekuasaan di Brasil dan memulai proses liberalisasi. Setelah setahun di Cambridge, Freire pindah ke
Jenewa, Swiss untuk bekerja sebagai penasehat pendidikan khusus di Dewan
Gereja-gereja se-Dunia. Pada
tahun 1979 ia di undang kembali oleh pemerintahan Brazil untuk kembali dari
pengasingannya dan diminta kembali untuk mengajar di Sao Paolo University. Dan
pada tahun 1988 ia diangkat oleh pemerintah Brazil untuk menjadi menteri
pendidikan. Di Rio de Janeiro, Freire menghembuskan nafas terakhirnya dalam
usia 75 tahun pada tanggal 2 Mei 1997 karena penyakit jantung yang dideritanya.
2.2
Konsep Dasar
Aliran (Pendidikan Kritis-Berkesadaran)
Teologi
Pembebasan pertama kali muncul di Amerika Latin pada tahun 1970-an. Pada
masa teologi pembebasan, perubahan terjadi di dua sisi.
Yang pertama; terjadi pada sisi liberal-radikal yang membuka
suatu wawasan yang meski sama sekali lain namun dampak meluas. Gereja adalah
komunitas para orang yang beriman, komunitas para kudus, communitas
fidelium, communitas sanctorum dan bukan hanya sekedar hirarki. Yang
kemudian pandangan ini melahirkan pemahaman baru yang menyatakan bahwa; bahwa
peran Gereja bukan hanya sekedar kerajaan langit yang sama sekali tidak berarti
dan tidak berperan dalam kehidupan Dunia. Bagi Maritain peran gereja haruslah
mengenal Dunia dengan menjadikan diri bagian dari mata rantai dunia, being
linked to the world, dengan memberikan komitmen kepada dunia being
committed to the world.
Perubahan yang kedua dan lebih
dahsyat adalah berlangsung pada teologi pembebasan itu
sendiri. Berawal dari apa yang diungkapkan oleh Konsili Vatikan II bahwa Allah
adalah pencipta, akan tetapi berbalik dengan asumsi utama bahwa “rakyat
adalah sumber ilham dan otoritas agama. Teologi menjadi teori dan
praxis dalam arti kegiatan yang mendorong seseorang dan masyarakatnya menuju
suatu perubahan nasib dalam arti ekonomi dan sosial. Dengan demikian keterlibatan
gereja di dalam kehidupan sosial dan ekonomi menjadi jauh lebih penting. Dengan
begitu masuknya teori Marxis dalam prihal Teologi menjadi tidak terelakan atau
tidak dapat dicegah. Pemikiran seperti inilah yang pada tahun 1980-an
mempengaruhi Eropa dan terutama Amerika Latin sehingga mempengaruhi pemikiran
Faulo Freire.
Dalam
membicarakan Teologi Pembebasan, Freire memberi obat penangkal teoritis yang
berbau sinisme dan keputusasaan, walaupun banyak kelompok kiri yang juga
melancarkan kritik secara radikal terhadapnya. Analisisnya yang tampak utopis
menjadi konkrit atas semangat pembebasan dan “rangsangannya”, serta
menjadi strating point yang bersifat kolektif di dalam berbagai
macam keadaan sejarah, dan khususnya ketika terjadinya penindasan. Analisisnya
dikatakan utopis karena menolak untuk menghindar dari resiko dan bahaya yang
mengancamnya, sebab ia sangat menentang struktur kekuasaan yang dominan. Visi
profetiknya dikatakan profetis karena baginya manusia seharusnya meyakini
kekuasaan Tuhan. Kesadaran yang dmaksud Freire ini muncul karena kaum
tertindas. Freire memadukan sejarah dan teologi untuk membuat dasar teoritis
bagi sistem pendidikan radikal yang mencakup tumbuhnya harapan, refleksi kritis
dan perjuangan bersama. Ini tercermin dalam tindakannya dengan melakukan kritik
dan menciptakan kemungkinan yang lebih baik. Karena Paulo Freire sedikit banyak
terinspirasi oleh gerakan teologi pembebasan dan peranan Gereja yang menjadi
alat perjuangan para teolog. Dalam menganalisis peranan gereja, akan lebih
mudah, jika dipahami hubungan antar gereja dan ajaran-ajarannya. Dengan
demikian cukup hanya untuk melihat
masalah yang dihadapi masyarakat Amerika Latin pada waktu itu secara literatur
kesejarahan mungkin bisa disimak sebagai berikut:
1.Gereja
Tradisionalis
Gereja tradisionalis masih sangat tradisionalis. Ia
bahkan bisa disebut juga sebagai gereja misionaris, gereja yang cenderung
memisahkan antara urusan-urusan dunia dan akhirat. Alasan masalah duniawi
cenderung diabaikan karena orang-orang tradisionalis cenderung memandang bahwa
dunia adalah sampah, dimana dunia adalah tempatnya dosa-dosa bertebaran. Oleh
kerena itu dunia dipandang sebagai tempat penebusan dosa-dosa, bagi kalangan
gereja tradisional memandang bahwa semakin orang-orang menderita akan semakin bersihlah
manusia, dan akhirnya bila ia taat atas penebusan dosa-dosa yang dilakukannya
ia akan diganjarkan surga dalam kehidupan abadi esok hari setelah mati.
Pandangan seperti ini menurut Freire akan menyenangkan
kaum fatalistis, dan sebaliknya sangat tidak menguntungkan bagi orang-orang
tertindas dalam perjalanan sejarahnya. Di dalam pandangan tersebut, seolah kaum
tertindas ini akan merasa seolah-olah telah menemukan obat penyembuh atas
keletihan yang dideritannya. Oleh karena itu maka suatu konsekuensi logis jika
nantinya orang-orang akan tenggelam dalam budaya bisu mereka. Mereka tak akan
kuasa menghadapi kekerasan kaum penindas, bukanlah semangat perlawanan yang
akan dilakukannya, tetapi orang-orang tertindas akan segera berduyun-duyun
menuju gereja untuk melakukan pengaduan karena tawaran surga akan ke-relijiusan
mereka.
Kegelisahaan kaum tertindas akan situasi dan pemahaman
demikian akan membuat kaum tertindas merasa teralienasi dari
kehidupannya. Karena kgelisahan yang dirasakannya akan berdampak pada amarah mereka
akan dunia, bukan pada sistem sosial yang menghancurkan tatanan dunia. Dan
orang-orang yang berkesadaran demikian menurut Paulo Freire adalah
kesadaran magis.
2. Moderenisasi
Gereja
Dalam era moerenisasi gereja, orang-orang banyak yang meninggalkan
paham gereja tradisional. Sejarah menunjukan bahwa sikap moderenisasi gereja
ini mulai muncul ketika elemen-elemen modernisasi banyak menggantikan struktur
sosisial yang bersifat tradisional. Orang-orang yang dulu tertindas pada masa
ini mereka mulai bangkit kembali dan menyesuaikan diri dengan masa
industrialisasi.
Namun moderenisasi gereja menuju kebebasan tidak
pernah sampai melakukan perubahan yang mendasar dalam hubungan masyarakat yang
dikuasai dan menguasai, dan dengan munculnya kekuatan masa ketika kaum
tertindas melawan si penindas bukanlah atas dasar kesadaran kritis dari yang
tertindas. Dan pada akhirnya ini akan berimplikasi pada pergantian penindas
lama dengan penindas baru, dehumanisasi akan terus abadi jika kesadaran
orang-orang seperti itu. Itu terjadi karena ajaran moderenisme tidak pernah
mengajarkan keterlibatan historis kaum tertindas di dalam pengertian yang
sebenarnya, yakni perjuangan yang tertuju pada pembebasan masyarakat. Dikarenakan
budaya moderenisasi gereja sangat sibuk dengan perkembangan industrialisasi
yang tidak lebih hanya sekedar sedikit melakukan perubahan dan lebih cenderung
membela ukuran-ukuran neo-kapitalitik, dan yang akan dilahirkan dari
modernisasi gereja hanyalah kesadaran-kesadaran masyarakat yang naif, kesadaran
yang cenderung memandang manusia sebagai penyebab masalahnya. Jika demikian,
bukanlah humanisasi yang ditegakan, tetapi pergantian penindas lama dengan
penindas baru, sebab mereka cenderung mengabaikan sistem sosial yang
menghancurkan tatanan dunia.
3. Gereja
Profetik
Akhirnya muncullah jenis gereja lain di dunia ketiga.
Sebenarnya gereja ini sama tuanya dengan kristianitas itu sendiri, namun
berbeda degan gereja tradisional. Gereja jenis ini pun sama barunya seperti
gereja modern namun berbeda dengan modernisasi gereja itu sendiri. Gereja
profetik sangatlah berbeda dengan gereja tradisional dan modern sekalipun.
Gereja profetik menolak semua pemikiran yang statis yang diajarkan gereja
tradisional dan modern.
Gereja ini menolak menjadi (becoming), untuk
meng-ada (to be). Karena gereja ini berpikir kritis, oleh
karena itu tidak memisahkan transendensi dari usaha pembebasan atas penindasan
yang terjadi di dunia. Gereja profetik ini memandang revolusi sebagai alat
pembebasan kaum tertindas, dan kudeta militer adalah sebagai kontra gerakan
yang reaksioner. Sikap profetik yang mewujud dalam praksis umat Kristen di
dalam sejarah Amerika Latin yang menentang, disertai dengan refleksi teologis
yang kaya. Bagi Freire, untuk menjadi profetik, masyarakat teknologis Eropa dan
Amerika Utara tidak perlu datang ke dunia ketiga. Mereka hanya perlu melepaskan
melepaskan pakaian ‘kota besarnya’, tanpa menjadi naif atau licik, dan disini
mereka akan menemukan stimulus yang cukup untuk berpikir jernih untuk diri mereka
sendiri. Mereka akan menemukan bahwa diri mereka bertentangan dengan
ungkapan-ungkapan dunia ketiga. Setelah itu, mereka akan mulai mengerti
bagaimana latar belakang munculnya profetisitas di Amerika Latin.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pendidikan Kritis-Berkesadaran Sebagai Filsafat
Bagi penganut mazhab
Freirean (Pendidikan
Kritis-Berkesadaran), hakekat
pendidikan adalah demi membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat proses humanisasi atau memanusiakan
manusia. Dalam buku Freire yang terkenal, “Pendidikan Kaum Tertindas” (“Pedagogy of
The Opressed), Freire memberi gagasan bahwa pendidikan adalah “proses
memanusiakan manusia kembali”.
Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi,
dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses ‘demumanisasi’. Demikian juga kuatnya
berpengaruh budaya fatalisme dan teologi kepasrahan akibat dominasi ideologi dominan. Pada banyak pendekatan
pendidikan, diam-diam
telah mewarisi pikiran positivisme seperti obyektivitas, mendewakan empirisme,
netral dan tidak memihak pada yang teraniaya dan tertindas, berjarak dengan
obyek pendidikan (detachment), rasional dan bebas nilai membuat banyak
pendidikan menghambat proses pembebasan dan dan menghilangkan watak dan benih-benih emansipatoris pada setiap proses
pendidikan. Pendidikan dalam perspektif
positivistik merupakan proses fabrikasi dan mekanisasi pendidikan untuk
memproduksi keluaran pendidikan yang harus sesuai dengan ‘pasar kerja’.
Pendidikan juga tidak toleran terhadap segala bentuk ‘non positivistic ways of
knowing’ yang disebut sebagai tidak ilmiah. Pendidikan menjadi ahistoris, yakni
mengelaborasi model masyarakat dengan mengisolasi banyak variabel dalam model
tersebut. Peserta pendidikan dididik untuk tunduk pada struktur yang ada
mencari cara-cara
dimana peran, norma, dan nilai-nilai
yang dapat integrasikan dalam rangka melanggengkan sistem tersebut. Asumsi yang mendasari
pendidikan itu adalah bahwa tidak ada masalah dalam sistem yang ada, masalahnya terletak pada sikap mental, pengetahuan dan keterampilan peserta didik belaka, termasuk
kreativitas, motivasi,
keahlian teknis. Oleh karena itu dalam
perspektif positivisme, pendidikan lebih dimaksud untuk mengembangkan
kecerdasan, ketrampilan dan keahlian peserta didik belaka, sementara komitmen,
keyakinan dan kepercayaan terhadap sistem
yang lebih adil dan motivasi untuk menantang terhadap sistem sosial yang tidak adil tidak disentuh,
namun lebih sibuk memfokuskan pada bagaimana membuat sistem yang ada bekerja.
Dalam buku “Pedagogy of The Opressed”,
Freire mengemukakan bahwa peranan guru sangat strategis secara positif maupun
negatif dalam setiap proses pendidikan guru dari proses dehumanisasi juga
mendapat perhatian. Dalam perspektif pendidikan yang menindas, para guru
berperan dan menempatkan diri mereka justru sebagai subyek pendidikan,
sementara itu peserta didik diletakkan sebagai obyek pendidikan. Buku ini menjernihkan
bagaimana mentransformasikan hubungan antara guru dan peserta didik menjadi
hubungan yang “dialogis”. Hubungan guru dan peserta didik dibanyak pendidikan
sering terjadi lebih bersifat hubungan atau relasi kekuasaan atau “subjugation”
yakni proses penjinakan dan penundukan, terutama pada pendidikan dan yang
menjadikan peserta didik sebagai obyek. Pendirian yang dianut oleh pendidik
Freirean adalah, pendidikan yang meletakkan peserta didik sebagai obyek
pendidikan, adalah pendidikan penjinakan dan oleh karenaya itu adalah proses
dehumanisasi. Para guru Freirean menganut suatu paradigma pendidikan tidak saja
membebaskan dan mentransformasikan pendidikan dengan struktur diluarnya, tapi
juga bercita-cita mentransformasi relasi ‘knowledge/power dan dominasi hubungan
yang ‘guru murid’ terlebih dulu.
Pada dasarnya Pendidikan Kritis-Berkesadaran (Freian) adalah suatu
pendekatan dan pemikiran pendidikan yang berangkat dari asumsi bahwa pendidikan
adalah proses pembebasan dari sistem yang menindas. Penganut pendidikan
Freirean berangkat dari suatu kepercayaan bahwa pendidikan tidak pernah terbebas
dari kepentingan politik ataupun terbebas demi melanggengkan sistem sosial
ekonomi maupun kekuasaan yang ada. Sebaliknya pandangan ini juga berasumsi
bahwa pendidikan bagi aparat dominasi, selalu digunakan demi melanggengkan
ataupun melegitimasi dominasi mereka. Oleh karena itu hakekat pendidikan
umumnya, bagi mereka, tidak lebih dari sebagai sarana untuk mereproduksi sistem
dan struktur sosial yang tidak adil seperti sistem relasi kelas, relasi gender,
relasi rasisme ataupun sistim relasi lainya. Pandangan ini dikenal dengan
“teori reproduksi” terhadap sistim yang tidak adil melalui pendidikan. Berbeda
dengan pandangan maupun teori “reproduksi” dalam pendidikan tersebut, ada
pandangan maupun teori pendidikan yang juga datang dari kelompok pendidik
radikal, yang justru berangkat dari asumsi dan keyakinan bahwa pendidikan
adalah proses “produksi” kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas,
kesadaran gender maupun kesadaran kritis lainnya. Pandangan kedua inilah yang
dianut oleh aliran Freirean tersebut. Oleh karena itu, pendidikan bagi kelompok
Freirean, merupakan proses pembebasan manusia. Pendirian Freirean berangkat
dari asumsi, bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada, pada
dasarnya mengalami proses dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi
gender maupun karena hegemoni dan dominasi budaya lainnya. Oleh karena itu
pendidikan merupakan suatu sarana untuk “memproduksi” kesadaran untuk
mengembalikan kemanusiaan manusia, dan dalam kaitan ini, pendidikan berperan
untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan.
Proses pendidikan sebagai proses pembebasan tidak pernah terlepas dari sistem
dan struktur sosial, yakni konteks sosial yang menjadi penyebab atau yang
menyumbangkan proses dehumanisasi dan keterasingan pada waktu pendidikan
diselenggarakan .
Dalam perspektif kritis, tugas pendidikan adalah
melakukan refleksi kritis, terhadap sistem dan ‘ideologi yang dominan’ yang
tengah berlaku di masyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistim
alternatif kearah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Tugas
ini dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap
kritis terhadap sistem dan struktur ketidakdilan sosial, serta melakukan
dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistim
sosial yang lebih adil. Dalam perspektif Freirean, pendidikan harus mampu
menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan
kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan
adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena
sistem dan struktur yang tidak adil. Paham pendidikan Freirean ini cocok dengan
paradigma transformatif. Pendidikan dalam perpektif ini juga menjadi arena kritik
ideologi. Dalam pelatihan bagi para buruh misalnya, peserta pendidikan, perlu
ditantang untuk memahami proses eksploitasi yang mereka alami, serta memikirkan
proses pembebasan dari alienasi dan eksploitasi buruh, disamping penekanan pada
teori motivasi kerja demi efisiensi yang hanya menguntungkan akumulasi kapital
tersebut. Demikian halnya dalam kontek pendidikan pertanian misalnya, para
petani saat ini sering diarahkan hanya untuk memenuhi ambisi produktivitas dan
efisiensi sebagai implikasi dari pendukung pertanian dari pandangan dominan
Revolusi Hijau dan rekayasa genetika, namun jarang difasilitasi untuk
mempertanyakan relasi kekuasaan dan bencana bagi para petani dari suatu teknik
pertanian. Dalam kontek itulah pilihan paradigma pendidikan memainkan peran
strategis untuk proses perubahan dan transformasi sosial.
3.2 Pendidikan
Kritis-Berkesadaran Dalam Dunia Paulo Freire
Memahami filsafat Freire sangatlah berbeda dengan
corak filsafat Yunani atau barat pada umumnya. Sepak terjang yang dilakukannya
pertama-tama harus dapat memposisikan sendiri sebagai seorang pejuang dan
berdialog dengan Freire, karena corak filsafatnya mengenai pendidikan lebih
bersifat praksis. Namun makna praksis yang
dimaksud Freire memiliki perspektif yang berbeda. Praksis merupakan
suatu kesatuan yang tak terpisahkan antara refleksi dan aksi
dalam pengenalanan perubahan social, ekonomi dan politik.
Pemikiran Freire tentang pendidikan lebih menyerupai
petunjuk (guidance) normative dalam hal-ihwal kependidikan. Yaitu lebih
berupa bimbingan untuk menjadi seorang guru yang benar dan murid yang benar
dalam arti tahu posisi dan tanggungjawabnya sebagai manusia yang berpendidikan.
Pendidikan haruslah saling berhadapan antara murid dan siswa, bukan malah
menjaga jarak antara guru dan murid sehingga membuat murid akan teralienasikan
dari kehidupan dunia nyata.
Karena Freire terinspirasi oleh gerakan Teologi
Pembebasan Amerika Latin, dalam hal filsafat pendidikannya pun dengan pembagian
klasifikasi kesadaran adalah analisis dari kesejarahan peran gereja dalam
melakukan gerakan perubahan teologi pembebasan. Kemudian
dalam hal filsafat pendidikan ia menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga
klasifikasi kesadaran, yakni; kesadaran magis, kesadaran naïf, dan
kesadaran kritis. Kesadaran magis lebih melihat faktor
di luar manusia sebagai penyebab dari penindasan atau ketidak berdayaan
manusia. Yang kedua ialah kesadaran naif yang lebih melihat
aspek manusia sebagai akar penyebab masalah yang terjadi dalam masyarakat.
Sedangkan yang ketiga yakni kesadaran kritis adalah kesadaran
yang menjadi kata kunci dan anjuran Freire. Kesadaran kritis bagi
Freire adalah kesadaran yang lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai
sumber masalah.
Penyadaran bukanlah suatu teknik atau hanya sekedar
transfer informasi antara pendidik dan peserta didik, atau pelatihan
keterampilan. Akan tetapi penyadaran dengan metode pendidikan saling berhadapan
adalah suatu proses pendidikan yang dialogis subjek-subjek yang
kemudian akan mengantarkan manusia untuk mampu memecahkan masalah eksistensial
mereka. Penyadaran dalam filsafat pendidikan mengemban tugas pembebasan.
Dalam buku termasyhurnya yakni “Pedagogy of
Opressed/Pedagogi Pengharapan (yang diterbitkan oleh Kanasius), ia
juga melontarkan wacana pembebasan yang didasarkan pada keyakinan transformasi
politik dan individu. Freire menekankan bahwa struktur, sistem, atau lembaga
penindasan haruslah ditolak. Secara esensial Freire menyatakan bahwa kesadaran
kritis terhadap realitas merupakan keharusan bagi tindakan manusia dan
transformasi sosial. Bagaimanapun, Freire menekankan bahwa persepsi kritis
sangatlah perlu dan hal itu tidaklah mencukupi, karenanya dibutuhkan tindakan
praktis dalam pencapaian tujuan pembebasan dan perubahan sosial.
Freire mengingatkan bahwa ; status kekuasaan dan
dominasi dari penindas tidak mungkin ada tanpa eksistensi kaum tertindas. Penindas
di dehumanisasikan oleh tindakan penindasan yang membutakannya bahwa
tindakannya tersebut dapat menghancurkan diri sendiri, sementara yang tertindas
didehumanisasikan oleh realitas eksistensial penindasan dan internalisasi bayang-bayang
penindas. Konsekuensi logisnya; penindas menyokong keberadaan eksistensial
identitas ganda, menurut Freire tugas dari kemanusiaan kaum tertindas adalah
haruslah membebaskan dirinya sendiri dan penindas-penindasnya.
Namun Freire juga dalam tulisannya seringkali
mewanti-wanti ketika kaum tertindas dapat membebaskan belenggunya agar jangan
menjadi seorang penindas baru. Karena Freire melihat seringkali kaum tertindas
terlempar menjadi sub-oppreesed dengan mengidentifikasi diri
sebagai penindas baru. Pada faktanya penindas dan tertindas merupakan suatu
faktisitas atau fakta sosial yang akan selalu ada. Namun, baik humanisasi
ataupun dehumanisasi yang sama-sama ada dasein atau eksis, tetapi
humanislah yang paling tepat disandang manusia. Karena hanya manusialah yang
memiliki sifat demikian, selainnya mungkin bukan manusia.
Dalam
karyanya yakni Pendidikan Kaum Tertindas Freire menyebutkan
bahwa sistem pendidikan yang men-dehumanisasikan manusia ia istilahkan
dengan Banking education. Berdasarkan atas cara pandang yang
mekanis dari kesadaran, pendidikan banking memisahkan peserta
didik dari isi dan proses belajar dalam lembaga pendidikan. Model
pendidikan banking menurut Freire telah mengasumsikan bahwa;
ilmu pengetahuan adalah semacam barang atau uang yang bisa di transfer dari
satu orang kepada orang lain, atau ilmu pengetahuan di transfer dari pengajar
kepada pengajar. Hal yang demikian telah mengasumsikan secara tidak langsung
bahwa; guru adalah layaknya dewa yang tahu segalanya dan murid dipandang
sebagai sesuatu yang berdaya dan tidak tahu apa-apa. Model pendidikan seperti
ini adalah model pendidikan yang menindas, karena ia telah mendehumanisasikan
manusia (siswa-siswi) yang tak pernah diberi kesempatan untuk berdialog.
Metode banking dalam pendidikan bisa terlihat jelas dalam
dunia pendidikan seperti; Pola guru mengajar hanyalah bercerita, dan siswa
hanya mendengarkannya saja.
Transfer informasi ini adalah suatu perlambang
instrumen penindasan yang terjadi dalam dunia pedidikan dengan ketidakterbukaannya
atas penyelidikan, kreativitas dan dialog siswa-siswi. Konsekuensi logis yang
harus dihadapi peserta didik atas system tersebut adalah teralienasinya
humanisasi kedalam dehumanisasi.
Terdapat beberapa alasan yang dilontarkan Paulo Freire
mengapa pendidikan model banking ini bersifat dehumanisasi.
Yakni;
- Pendidikan
model banking cenderung memitologiskan realitas.
- Menolak
dialog
- Menjadikan
siswa sebagai objek yang tidak berdaya
- Menghalangi
kreaivitas
Sebaliknya Paulo Freire mengajukan model pendidikan
yang membebaskan. Atau yang ia istilahkan dengan “Problem-posing
education”, yang didasarkan pada kesalinghubungan antara pendidik dan peserta
didik yang demokratis. Demokratisasi ini merupakan model pendidikan yang
mengusulkan dialog dan partnership antara guru dan murid.
Bentuk partnership ini tercermin pada model guru sewaktu-waktu
sebagai murid, dan muridpun sewaktu-waktu sebagai guru. Hubungan timbal balik
seperti ini akan memacu kreativitas siswa dan mendorong munculnya kesadaran
kritis bagi peserta didik. Pendidikan model tersebut merupakan pendidikan yang
dimulai dari realitas kehidupan sesaat, maka dengan hal demikian manusia
tidak akan teralienasikan pada keidupan dunianya.
Menurut
Freire, model pendidikan pembebasan haruslah:
- Memposisikan
diri sebagai agen demitologisasi dalam menghadapi masalah
- Menganggap
dialog sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawa-tawar dalam rangka tindakan
kognisi yang menyingkap realitas
- Memotivasi
siswa untuk menjadi seorang pemikir yang kritis
- Berdasar
pada kreativitas dan merangsang refleksi seta aksi yang benar terhadap
realitas
- Mengakui
historisitas manusia sebagai starting pointnnya
Dari beberapa uraian di atas mengenai model pendidikan
yang membebaskan ini dimulai dengan keyakinan bahwa program pendidikan semacam
itu haruslah dicari melalui keterbukaan dialog yang intensif dengan masyarakat,
maka hal ini mensyaratkan pengenalan pendidikan bagi kaum tertindas, dimana
keikutserataan kaum tertindas dapat diutamakan.
BAB IV
KESIMPULAN
Dalam era
Globalisasi Kapitalisme seperti saat ini, pendidikan dihadapkan pada tantangan
bagaimana mengkaitkan konteks dan analisis isinya untuk memahami globalisasi
secara kritis. Strategi umumnya pendidik lebih tertuju untuk bagaimana membuat
kelas mereka relevan terhadap formasi sosial yang dominasi saat ini. Sungguhpun banyak orang pesimis untuk
menjadikan pendidikan menjadi alat independen untuk kesadaran kritis dan
pembebasan, namun Freire telah memberikan suatu model yang optimis terhadap pendidikan yang
membebaskan. Ia menjelaskan bagaimana landasan teoritik pendidikan sebagai
proses transformasi dan pembebasan terutama relasi yang tidak demokratis
didalam dunia pendidikan itu sendiri. Ini berarti menggugat watak otoriter dan
penjinakan ideologis yang tersembunyi dalam setiap pendidikan. Dengan demikian
diperlukan suatu usaha kolaborasi antara guru dan peserta didik juga sesama
pesrta didik lainnya untuk secara bersama-sama melakukan transformasi relasi
mereka untuk terbebas dari sistem yang menindas. Menuju relasi pendidikan yang
kritis, lebih egaliter dan demokratis.
Written by Christian Barly
No comments:
Post a Comment