BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Eksistensialisme berkembang pada abad XX
di Prancis Jerman, bukan sebagai akibat langsung dari suatu keadaan atau sebab
tertentu, tetapi sebagai sebuah respon yang dialami secara mendalam atas
runtuhnya berbagai bangunan didunia barat yang sebalumnya dianggap stabil.
Meletusnya perang dunia pertama pada akhirnya menghancurkan keyakinan akan
berlanjutnya kemajuan beradaban menuju kebenaran dan kebebasan, kedamaian dan
kesejahteraan yang dimunculkan pada Abad pencerahan dan bertahan sampai
pecahnya perang ini. Dengan adanya PD1, runtuhlah keseimbangan kekuatan yang
tampaknya stabil diantara bangsa-bangsa besar. Sebelum PD 1 berakhir, seluruh
kekaisaran Rusia tercerai berai, dan segera diikuti perpecahan dan runtuhnya
kekaisaran inggris, Prancis, Belgia, dan Belanda.
Revolusi Komunis 1917 di Rusia
menjatuhkan semangat stabilitis politik, semangat bahwa era revolusioner telah
berakhir. Struktur ekonomi juga dipandang jatuh karena Tekanan Besar pada
1920-an dan 1930-an yang muncul dari Eropa sampai Amerika Serikat, memunculkan
keraguan mengenai bertahannya kebenaran ilmu politik klasik dan bertahannya
kapitalisme. Ilmu pengetahuan itu sendiri mulai kehilangan kesan pastinya. Dan
segala macam filsafal berguguran. Jalan menuju teritori filsafat diciptakan
oleh kemajuan penelitian ilmiah. Ditambah lagi, filsafat mendapat serangan dari
para penganut Empirisme dan dari memanasnya perkembangan ilmu pengetahuan Abad
XX. Dan filsafat dianggap hanya sebagai relativitas sejarah, bahkan lebih buruk
lagi dianggap berfungsi sebagai ideologi untuk kepentingan kelompok khusus.
Dengan melemahnya dan jatuhnya sedemikian
banyak struktur eksternal kekuasaan – struktur ekonomi, politik, dan
intelektual milik kekuasaan – seluruh struktur ini mulai kehilangan
legitimasinya, dan kuasanya atas individu jadi terasa sudah tidak lagi bisa
ditolerir. Karena ditentang dan dianggap sudah tak lagi memiliki legitimasi,
kekuasaan eksternal pemerintahan, sistem ekonomi, dan dunia ilmu pengetahuan
serta intelektualitas, dan manusia perorangan hanya bisa turun pada kekuasaan
internal atas diri. Logikanya, para Eksistensialis kembali pada diri manusia
sebagai pusat filsafat yang sejati dan sebagai satu-satunya kekuasaan yang
legitimasinya kuat.
Dalam pertentangannya melawan struktur
politik dan intelektual yang ada, eksistensialisme mengikuti jalan yang diambil
Romantisme Jerman abad XIX dalam usahanya memusatkan filsafat pada jiwa
manusia, subjek sadar, sebagai satu-satunya kekuasaan yang memiliki legitimasi,
lebih dari ratusan tahun lalu. Romantisme, seperti yang kita lihat, digunakan
era penganut Kant dalam filsafat untuk menddapatkan dalam diri desakan
kekuasaan politik Jerman dan dari tekanan intelektual oleh Abad Pencerahan ilmu
pengetahuan yang dibenci mereka.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah eksistensi itu?
2.
Apakah eksistensialisme
itu?
3.
Siapakah Jean Paul
Sartre
4.
Bagaimana yang sebenarnya
yang dimaksud Sartre mengenai Eksistensi Manusia Mendahului Esensinya?
5.
Apa kelemahan etika
eksistensialisme?
BAB
II
ACUAN
TEORITIK
A.
Tokoh
“Aku membenci massa kanak-kanakku dan
segala sesuatu yang tersisa darinya.”
– Jean- Paul Sartre
The
Words (Les Mots), 1964
Inilah pernyataan pahit dari fisuf
eksistensialisme Prancis Jean- Paul Sartre dalam autobiografinys, The Words, yang dia tulis ketika berusia
lima puluhan dan buku ini menggambarkan kehidupannya sampai usia dua belas
ditahun 1917. Autobiografi Sartre merupakan serangan keras yang ditujukan pada
orangtuanya, kakek-neneknya, dan masyarakat borjuis dimana dia lahir. Sartre
mengecam mereka semua dari sudut pandanganya sebagai seorang eksistensialis dan
posisi Marxis waktu itu. Apakah ada intelektual atau seniman yang telah menulis
begiti kasar mengenai gambaran masa kecilnya sendiri? Tampaknya kita cukup
ragu.
Seperti apa masa kecil ini – masa
kanak-kanak dari seorang pelopor filsafat eksistensialisme abad XX yang paling
berpengaruh? Sartre lahir di Paris Prancis,
pada 21 Juni 1905 – 15 April 1980 M. Ia berasal dari keluarga cendikiawan.
Ayahnya seorang perwira besar Angkatan Laut Prancis. Ibunya anak seorang guru
besar yang mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ketika masih kecil
ayahnya meninggal sehingga ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan dirumah
kakeknya. Dibawah pengaruh kakeknya, Sartre dididik secara mendalam untuk
menekuni dunia ilmu pengetahuan dan bakat-bakat Sartre dikembangkan secara
maksimal.
Mesti Sartre dididik secara agamis oleh
kakeknya dan bahkan dibaptis, dalam perkembangan usia dan pemikirannya, Ia
justru tidak menganut agama apapun dan bahkan tidak percaya pada Tuhan. Ia
hidup seranjang dengan Simon de Beauvoir
tanpa nikah. Baginya perikahan adalah suatu lembaga borjuis saja. Pada tahun
1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris, dan ia bertemu dengan
Husserl. Semenjak itu ia mendalami fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat
eksistensialisme.
Meski Sartre berasal dari
keluarga Kristen protestan dan ia sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun
dalam perkembangan pemikirannya ia justru tidak menganut agama apapun. Ia
atheis. Ia memngaku sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap
ini muncul semenjak ia berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama
baru, karena itu ia menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang
Ia adalah filsuf sekaligus penngembang
aliran eksistensialisme. Menurut Saertre, eksistensi lebih dulu ada dibanding
esensi (L’existence precede l’essence).
Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak
lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya dimasa lalu. Karena itu,
menurut Sartre, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L’homme est condamne a etre libre).
Pada tahun 1964 Ia diberi Hadiah Nobel
Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980
disebuah rumah sakit di Broussais, Paris. Upacara pemakanmannya dihadiri kurang
lebih lima puluh ribu orang. Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama
Simon de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingless atau Ada dan Ketiadaan.
B.
Konsep
Dasar Aliran
Eksistensialisme adalah aliran filsafat
yang menekankan pada eksistensi. Para pengamat eksistensialisme tidak
mempersoalkan esensi dari segala yang ada. Karena memang sudah dan tidak ada
persoalan. Kursi adalah kursi. Manusia adalah manusia. Namun, mereka
mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada dan untuk apa berada. Oleh
karena itu, mereka menyibukkan diri dengan memikirkan tentang eksistensia.
Dengan mencarai cara berada dan eksis yang sesuai, esensiapun ikut terpengaruh.
Dengan pengolahan eksistensia secara
tepat, segala yang ada bukan hanya berada, tetapi berada dalam keadaan optimal.
Untuk manusia, ini berarti bahwa dia tidak sekadar berada dan eksis, tetapi
berada dan eksis dalam kondisi ideal sesuai dengan kemungkinan yang dapat
dicapai. Dalam kerangka pemikiran itu, menurut kaum eksistensialis, hidup ini
terbuka. Nilai hidup yang paling tinggi adalah kemerdekaan. Dengan kemerdekaan
itulah keterbukaan hidup dapat ditanggapi secara baik. Segala sesuatu yang menghambat,
mengurangi atau meniadakan kemerdekaan harus dilawan. Tata tertib, peraturan,
hukukm harus disesuaikan atau, bila perlu, dihapus dan ditiadakan. Karena
adanya tata tertib, peraturan, hukum dengan sendirinya sudah tak sesuai dengan
hidup yang terbuka dan hakikat kemerdekaan. Semua itu membuat orang terlalu
melihat kebelakang dan mengaburkan masa depan, sekaligus membuat praktik
kemerdekaan menjadi tidak leluasa lagi.
Dalam hal etika, karena hidup ini
terbuka, kaum eksistensialis memegang kemerdekaan sebagai norman. Bagi mereka,
manusia mampu menjadi seoptimal mungkin. Untuk menyelesaikan proyek hidup itu,
kemerdekaan mutlak diperlukan. Berdasarkan dan atas norma kemerdekaan, mereka
berbuat apa saja yang dianggap mendukung penyelesaian proyek hidup. Sementara
itu, segala tata tertib, peraturan, hukum tidak menjadi bahan pertimbangan.
Karena adanya saja sudah mengurangi kemerdekaan dan isisnya menghalangi
pencapaian cita-cita proyek hidup. Sebagai ganti tata tertib, peraturan, dan
hukum, mereka berpegang pada tanggung jawab pribadi. Mereka tak memedulikan
segala peraturan dan hukum, dan tidak mengambil pusing akan sanksi-sanksinya.
Yang mereka pegang adalah tanggung jawab pribada dan siap menanggung segala
konsekuensi yang datang dari masyarakat, negara, atau lembaga agama.
Satu-satunya hal yang diperhatikan adalah situasi.
Bagi Sartre, manusia itu
memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya.
Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk
akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas,
keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat
manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei
L'Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan
fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak. Menurutnya,
manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya
manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban
tanggung jawab.
Sartre mengikuti Nietzsche
yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di
luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia
sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya
dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak
ada watak manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi
tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang
ia konsepsikan setelah ada---seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke
dalam eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri
manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung
jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan
eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia.
Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung
keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
BAB
III
PEMBAHASAN
Tema/ Isu Aliran Ini
Eksistensialisme berasal dari kata
eksistensi dari kata dasar exist.
Kata exist itu sendiri berasal dari
bahasa ex keluar, dan sister berdiri. Jadi, eksistensi itu
berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Filsafat eksistensi tidak sama persis
dengan filsafat eksistensialisme. Filsafat eksistensialisme lebih sulit
ketimbang eksistensi.
Dalam filsafat dibedakan antara esensia
dan eksistensia. Esensia membuat benda, tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh
esensia, sosok dari segala yang ada mendapatkan bentuknya. Oleh esensia, kursi
menjadi kursi, manusia menjadi manusia. Namun, dengan esensia saja, segala yang
ada belum tentu berada. Kita dapat membayangkan kursi dan manusia. Namun, belum
pasti apakah semua itu sungguh ada, sungguh tampil, sungguh hadir. Disinilah
peran eksistensia.
Eksistensia membuat yang ada bersosok
jelas bentuknya, mampu berada, eksis. Oleh eksistensia, kursi dapat berada
ditempat, dan manusia dapat hidup, bekerja, berbakti dan dapat membentuk
kelompok bersama manusia lain. Selama masih bereksistensia, segala yang ada
dapat ada, hidup, tampil, hadir. Namun, ketika eksistensia meninggalkannya,
segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak hadit.
Kursi lenyap dan manusia mati. Demikianlah penting peranan eksistensia. Olehnya
segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, dan berperan. Tanpanya, segala sesuati
tidak nyata ada apalagi hidup dan berperan.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat
yang menekankan eksistensia. Filsafat
eksistensialisme membicarakan cara berada manusia didunia. Dengan kata lain
filsafat ini menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema sentral
pembahasannya. Cara itu hanya ada khusus pada manusia karena hanya manusialah
yang bereksistensi, binatang, tumbuhan, bebatuan memang ada, tetapi mereka
tidak dapat disebut bereksistensi karena mereka tidak mempunyai kesadaran
tentang dirinya atau kesadaran sekelilingnya.
Eksistensi berarti
keberadaan, akan tetapi didalam filsafat eksistensialisme istilah eksistensi
memiliki arti tersendiri. Tampaknya di dalam filsafat eksistensialisme istilah
eksistensi memiliki arti cara manusia berada di dalam dunia, dan hal ini berada
dengan cara berada benda-benda, sebab benda-benda tidak sadar akan
keberadaannya sebagai sesuatu yang memiliki hubungan dengan yang lain. Secara
lengkap eksistensi memiliki hubungan dengan yang lain, dan berada disamping yang
lain. Secara lengkap eksistensi memiliki makna bahwa manusia berdiri sebagai
dirinya dengan keluar dari diri sendiri. Maksudnya ialah manusia sadar bahwa
dirinya ada. Dalam pemikiran ini jelas bahwa manusia dapat memastikan diri
bahwa dirinya ada.
Bagi Sartre, manusia atau keadaan
kebebasan untuk membentuk
dirinya dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak
mengandung arti bahkan tidak masuk akal. Tetapi, manusia dapat hidup dengan
aturan-aturan, keluhuran budi dan keberanian dan dia dapat membentuk
masyarakat. Karena memiliki ciri seperti ini, maka manusia dapat menangani
masalahnya sendiri dan mengandalkan pilihan dan tindakannya supaya dapat hidup
didunia.
Jean- Paul Sartre, filsuf sekaligus
pengembang aliran eksistensialisme, mengatakan bahwa eksistensi lebih dulu ada dibanding
esensinya. Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya
ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya dimasa lalu. Pandangan
ini sangat janggal sebab biasanya sesuatu harus ada esensinya lebih dulu
sebelum keberadaannya. Dalam pernyataan ini, Sartre menempatkan eksistentia dan
essentia menurut makna metafisikanya, di mana, dari zaman Plato dan seterusnya
telah mengatakan bahwa essensia mendahului eksistensia. Sartre membalik
pernyataan ini.
Oleh pandangan-pandangan Sartre yang
terkandung didalam dirinya, ada beberapa kelemahan etika eksistensialis.
Ø Etika
eksistensialis terperosok kedalam pendirian yang individualistis. Dengan
pendiriran itu, alih-alih melaksanakan proyek hidup, bisa-bisa para pengikut
aliran eksistensialis hanya mencari dan mengejar kepentingan diri. Karena yang
baik ditentukan sendiri bukan berdasarkan norma, maka yang dianggap baik
bukanlah kebaikan sejati, melainkan baik menurut dan bagi diri mereka sendiri.
Cara memandang kebaikan yang individualistis itu dapat merugikan sesama,
masyarakat dan dunia.
Ø Dengan
mengabaikan tata tertib, peraturan, hukum, kaum eksistensialis menjadi manusia
yang anti-sosial. Tidak dapat disangkal bahwa ada norma masyarakat yang sudah
usang. Namun, menyatakan
segala norma tak berlaku sungguh melawan akal sehat. Sebab, norma masyarakat merupalan hasil perjalanan
pencarian yang tidak mudah untuk ditiadakan.
Ø Dengan
mengambil sikap bebas merdeka, kaum eksistensialis memandang kemerdekaan
sebagai tidak terbatas. Padahal, dalam hidup ini tidak ada kemerdekaan yang
tanpa batas. Seberapa “hebat”-nya manusia, tidak mungkinlah dia mampu
mewujudkan kemerdekaannya secara penuh.
Selama orang hidup dalam masyarakat, pelaksanaan kemerdekaan akan selalu
dibatasi oleh pelaksanaan kebebasan orang lain.
Ø Kaum
eksistensialis amat memperhitungkan situasi. Namin, situasi itu mudah goyah.
Kelemahan ini masih diperkuat oleh sikap individualistis yang dipegang kaum
eksistensialis. Etika eksistensialis memiliki unsur-unsur kebaikan yang
positif. Namun, bila tidak mengurangi dan melepaskan kelemahan-kelemahannya,
maka eksistensialisme akan melemahkan arti dan sumbangan-sumbangannya yang
sangat berharga tersebut.
Dalam pemikiran Sartre
selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai
kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului
esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri
seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre.
Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari
sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya
karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang
menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan
suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu
tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.
Kritik terhadap Sartre
Salah satu kritik yang
ditujukan pada pandangan Sartre tentang kebebasan dilontarkan oleh Albert
Camus, sastrawan Prancis yang juga pernah bersahabat dengan Sartre, serta
sama-sama tergolong dalam aliran eksistensialisme.
Camus menyatakan, dengan
mencanangkan bahwa manusia adalah kebebasan dan dengan menganggap kebebasan
manusia itu absolut, maka terselubunglah kenyataan bahwa dalam banyak hal
manusia sama sekali belum bebas. Jika ditekankan bahwa manusia adalah bebas
seratus persen, maka orang tidak dikerahkan untuk mengusahakan pembebasan.
Manusia yang dilukiskan oleh Sartre itu hidup dalam suatu surga firdaus, yang
jauh berbeda dengan kenyataan konkret, di mana serring kali ia terbelenggu oleh
berbagai macam ketidakbebasan.
Sedangkan dalam Letter on
Humanism, Heidegger mengritik eksistensialisme Sartre. Heidegger menyatakan:
“Eksistensialisme mengatakan, eksistensi mendahuluiesensi. Dalam pernyataan
ini, dia (Sartre) menempatkan existentia dan essentia menurut makna metafisika
mereka, di mana, dari zaman Plato dan seterusnya telah mengatakan bahwa
essentia mendahului existentia. Sartre membalik pernyataan ini. Namun pembalikan
dari sebuah pernyataan metafisika tetaplah sebuah pernyataan metafisika. Dengan
ini, dia (Sartre) tetap dengan metafisika, dengan melupakan kebenaran dari
Mengada (Being).”
BAB IV
KESIMPULAN
Filsafat eksistensialisme
adalah salah satu aliran filsafat yang mengguncangkan dunia walaupun filsafat
ini tidak luar biasa dan akar-akarnya ternyata tidak dapat bertahan dari
berbagai kritik. Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti
penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal
yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Dengan demikian filsafat
adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain.
Eksistensialisme menjadikan
para penganut aliran ini menjadi orang-orang yang individualistis dan anti
social sebab mereka akan menhalalkan segala cara untuk mencapai keadaan yang
paling optimal sebagai manusia maka segala peraturan, hukum dan ajaran agama
akan menghalangi tujuan mereka mencapai tujuannya.
No comments:
Post a Comment